Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat
Kumandang
adzan, pria berjenggot, wanita berjilbab, masjid, dan sekelompok lelaki yang
menenteng senjata. Punya hobi menonton film? Terutama film-film Hollywood? Atau
pernah menonton film-film dengan setting dan latar di sebuah negara Islam atau
yang menampilkan seorang atau sekelompok muslim? Pemandangan seperti yang sudah
saya sebutkan pada kalimat pertama dalam paragraf ini pastinya dapat dengan
mudah kita temui saat kita menonton film-film tersebut. Ada mungkin dari kita
yang merasa kesal karena kebanyakan film-film macam itu memang terkesan menyudutkan
kaum muslimin –terutama bangsa Arab- , tapi ada juga dari kita yang
beranggapan: “toh, hanya film”. Lalu, bagaimanakah maksud sutradara, produser,
penulis skenario, dan para kru-nya membuat film-film yang menampilkan
perwajahan Islam dalam kacamata mereka?
***SPOILER ALERT***
Raiders of The Lost Ark (1981) |
Banyak
dari kita yang beranggapan bahwa ketika film-film Hollywood yang menampilkan
seorang muslim sebagai tokoh antagonis adalah upaya untuk menebar islamophobia.
Well, menurut saya pribadi, anggapan tersebut tidak ada salahnya walau memang
tak seutuhnya benar. Heru Susetyo dalam salah satu bab di bukunya, The
Journal of Muslim Traveler, bahwa ada film-film yang menggambarkan umat
muslim sebagai kaum yang sadis, bodoh, dan radikal. Hal ini bisa terlihat pada
beberapa film yang disebut beliau seperti Black Hawk Down (2001) dan True
Lies (1994). Ustadz felix Siauw sendiri pernah menyebut film Dracula
Untold (2014) dalam tulisannya sebagai upaya stigmatisasi Islam.
Dracula Untold (2014). Maksudnya sih si Dominic Cooper meranin Sultan Mehmed II al-Fatih. Tapi kok malah kayak Bruno Mars ya !? O_O |
Film
adalah suatu bentuk media. Dalam salah satu tulisan saya sebelumnya di blog
ini, saya pun sempat menulis bahwa korporasi media dimiliki oleh mereka yang
berkepentingan. Apapun kepentingan atau bagaimana cara memandang pihak
pengelola terhadap suatu kaum, jelas tercermin dalam produk-produk mereka,
yaitu film. Bukan rahasia lagi bahwa ada banyak pemakaian film sebagai sarana
propaganda. Eitss... tapi saya tidak mau menyimpulkan lebih jauh dulu tentang
hal ini. Sebagai suatu bentuk media, jelas bahwa film bisa mempengaruhi tumbuh
kembang pengetahuan pada manusia. Tak heran bila ada saja sekelompok orang yang
terpengaruh dan percaya begitu saja dengan distorsi yang ditampilkan salam
suatu film mesti kebalikannya dalam kenyataan. Tak sedikit mungkin ada muslim
yang tak bangga dengan agamanya sendiri lantaran distorsi Islam yang penuh
dengan citra negatif dalam film-film barat.
Di
barat sendiri, termasuk dalam ranah Hollywood (Amerika Serikat), Islam sempat
dimunculkan sebagai golongan yang akrab dengan perbudakan, poligami, dan
kebiadaban. Itu dulu. Dan di era modern ini, agak sedikit berbeda dan terkesan
masih negatif. Islam kali ini muncul sebagai sosok radikalis, anti-Barat, dan
anti-demokrasi. Memang ada semacam keinginan untuk mediskreditkan Islam dan Arab
sebagai komunitas yang berbeda. Dalam film dokumenter Reel Bad Arabs (2006),
Jack Shaheen menyebutkan bahwa film-film Hollywood dulu menampilkan bangsa Arab
(yang lekat sebagai kaum muslim) seolah-olah sekelompok “sub-human”. Ia juga
menulis dalam bukunya yang berjudul sama bahwa dalam kultur populer di dunia
hiburan Amerika, bangsa Arab digambarkan sebagai orang-orang tajir, tukang
nge-bom, dan penari perut. Pemandangan macam ini pun masih terlihat pada film Furious
7 (2015) yang memperlihatkan pesta hura-hura super-mahal di Burj Khalifa,
Dubai. Masyarakat Arab Muslim dengan distorsi negatifnya dalam film-film
Hollywood, seakan-akan telah muncul sebagai bagian dari American folklore.
Pernahkah
kita menonton film The Savior (1998), Black Hawk Down (2001), The
Hurt Locker (2008), dan Lone Survivor (2013)? Keempat film tersebut
menampilkan Bosnia, Somalia, Iraq, dan Afghanistan sebagai negara konflik
dimana penduduknya kental dengan ‘keislaman’ a la filmmaker barat. Dalam Lone
Survivor misalnya, kita akan disuguhi adegan pembuka ketika sekelompok jihadis
Taliban memenggal kepala seorang penduduk yang diduga pernah menolong seorang
tentara Amerika. Bahkan sebelum eksekusi dimulai, seorang jihadis berteriak,
”Allahu akbar!”. Akhirnya, bagi masyarakat awam, bisa saja mereka salah paham
dengan beranggapan bahwa konsep jihad dalam Islam adalah memerangi Amerika dan
pendukungnya serta menyembelih mereka dengan takbir terlebih dahulu.
Black Hawk Down (2001) |
Melalui
film-film tersebut, terjadi penyempitan makna dalam konsep jihad. Sebagai
seorang muslim tentunya kita harus tahu bahwa jihad tak hanya sebatas
mengangkat senjata dan memerangi non-muslim. Seseorang yang berusaha menahan
lapar dan haus selama berpuasa pun juga bisa dianggap sedang berjihad. Jihad
dengan mengangkat senjata diizinkan bila kita dalam posisi dimana nyawa kita
terancam, seperti yang dilakukan oleh-oleh saudara-saudara kita di Palestina
dan Suriah. Ironis bila kita sadar bahwa tak jarang umat muslim yang tak
mengerti secara luas makna dari berjihad. Kemudian muncullah “santri-santri
film” yang belajar ini-itu dari media-media yang seharus bukanlah sarana untuk
menambah pengetahuan.
Dan
lagi-lagi, selalu orang kulit putih (baca: Amerika) muncul sebagai sosok savior
(juru selamat) atau hero (jagoan) menyelamatkan para figuran yang
berperan sebagai kaum-kaum yang lemah dan tertindas. Hal ini bisa kita lihat
pada Tears of The Sun (2003), The Kingdom (2007) dan film
kerjasama Amerika-Indonesia, Java Heat (2013).
Oded Fehr sebagai sosok pejuang penjaga makam Fir'aun, Ardeth Bay, dalam The Mummy (1999) |
Morgan Freeman sebagai Azeem dalam Robin Hood: The Prince of Thieves (1991) |
Namun
tak semua film-film barat menampilkan Islam dengan distorsi negatif. Adapula
beberapa film yang menampilkan sosok muslim sebagai umat yang taat dalam
menjalankan ibadahnya, toleran, heroik, berpengetahuan, dan bijaksana.
Contohnya pada film Robin Hood: The Prience of Thieves (1991) yang
menampilkan tokoh pemeran pembantu bernama Azeem (diperankan aktor kawakan
Morgan Freeman). Azeem dalam film tersebut muncul sebagai pribadi yang cerdas,
simpatik, dan setia kawan kepada temannya, Robin Hood (Kevin Costner), yang
berbeda keyakinan. Adapun film-film lainnya seperti Malcolm X (1992), The
Mummy (1999), The 13th Warrior (1999), Ali (2001), Kingdom
of Heaven (2005), Nomad The Warrior (2005), dan The Visitor (2007).
Pada tahun 1976, seorang sutradara berdarah Suriah-Amerika, Moustapha Akkad,
merilis film berjudul The Message yang mengisahkan risalah Rasulullah
Muhammad Saw. Empat tahun kemudian, ia merilis film Lion of The Desert (1980),
film tentang perjuangan Omar Mukhtar (Anthony Quinn) bersama pengikutnya
melawan tentara Italia yang menjajah Libya pada tahun 1929.
The Message (1976) |
Kingdom of Heaven (2005) |
Lalu,
bagaimana dengan distorsi Islam pada film-film produksi Eropa? Kita harus
cermat membedakan film produksi Hollywood dengan film produksi negara-negara di
benua Eropa. Beberapa orang mungkin bisa membedakan, sedangkan sebagian lain
tidak. Mayoritas film yang dibuat di negara-negara Eropa biasanya dibuat bukan
dengan tujuan komersial, melainkan hanya sebatas untuk diikutsertakan pada
ajang-ajang festival film bergengsi macam Festival de Cannes atau Berlinale.
Bagi kamu yang mungkin terbiasa menyaksikan film-film komersial produksi
Amerika seperti film-film Marvel Superheroes atau film-film action-fantasy
mereka yang jor-joran efek visualnya, bisa saja kamu tertidur saat pertama kali
menonton salah satu film buatan Eropa. Kebanyakan dari film-film produksi
mereka, terutama dari Prancis atau negara-negara di Eropa Timur yang industri
perfilmannya kurang dilirik, memiliki alur cerita yang tenang dan jalan yang
pelan. Bahkan cenderung jauh dari gaya mainstream pada umumnya alur film
berjalan.
Djeca (2012) |
Tangerines (2013) |
Saya
sendiri masih belum menemukan bagaimana mereka menampilkan Islam secara khusus dalam
film-film mereka serta apa yang membedakannya dengan Hollywood. Ada beberapa
film produksi Eropa yang menampilkan distorsi Islam seperti No Man's Land (Bosnia, 2001), Le Grand Voyage (Prancis,
2004), 9th Company (Rusia, 2005), Arn The Knight Templar (Swedia, 2007), Djeca (Bosnia &
Herzegovina, 2012), Tangerines (Estonia, 2013), The Physician (Jerman,
2013), A Most Wanted Man (Inggris-Jerman, 2014), Timbuktu (Prancis-Mauritania,
2014), dan Krigen (Denmark, 2015). Le Grand Voyage contohnya,
mengisahkan seorang ayah dan putranya yang melakukan perjalanan haji dari
Prancis menuju Arab Saudi dengan hanya menggunakan mobil Peugeot tua.
Tangerines yang menampilkan seorang petani Estonia menolong seorang tentara
bayaran muslim Chechnya bernama Ahmed dan seorang militan Georgia bernama Nika.
Keduanya berselisih dan saling membenci pada mulanya, namun benih-benih
persahabatan dan rasa saling peduli pun perlahan muncul. Adapula Timbuktu
menyinggung pelaksanaan syari’ah Islam oleh kelompok Ansar Dine di wilayah
Timbuktu, Mali.
Russell Crowe dalam film The Water Diviner (2014) |
Sebagai
tambahan, film The Water Diviner (2014). Bukan produksi Hollywood, bukan
pula negara-negara di Eropa, melainkan Australia. Dikisahkan Joshua Connor
(Russell Crowe, juga sebagai sutradara), seorang pembuat sumur dari Australia,
rela berlayar menuju Turki (Kesultanan Ottoman saat itu) demi mencari anaknya,
seorang tentara Persekutuan Australia-Selandia Baru (ANZAC), yang selama ini
dikiranya tewas akibat dari pertempuran Gallipoli tahun 1919. Ia pun dibantu
oleh seorang perwira, Mayor Hassan (Yilmaz Erdogan). Selaku sutradara, Russell
Crowe tak hanya berkonsentrasi dalam mengembangkan cerita, ia juga menghias
film dengan keindahan Turki awal abad 20 dengan arsitektur Masjid Biru dan
tarian Sufi berputar.
Life of Pi (2012) |
Kurangnya
pemahaman orang barat terhadap Islam pun tercermin secara tak langsung dalam
film-film mereka. Kumandang adzan seakan menjadi atribut wajib bagi film-film
barat yang mengambil latar di sebuah negara Islam. Lantunan suara adzan bisa
kita dengar sayup-sayup pada pembukaan film produksi Kanada, Hyena Road (2015).
Dalam film Taken 2 (2012), yang dibintangi aktor kawakan Liam Neeson,
panggilan untuk beribadah itu pun terdengar lebih jelas. Lucunya, Neeson
menyebutnya sebagai “man singing”. Adegan umat muslim yang melaksanakan sholat
pun juga seakan wajib untuk mereka visualisasikan. Meskipun kadang hanya
terlihat sedang sujud atau duduk diantara kedua sujud, seperti di film Life
of Pi (2012), dimana sang tokoh utama, Pi Patel, menyaksikan umat muslim sholat
berjamaah di sebuah masjid di Pondicherry, India Selatan. Adegan pun berlanjut
dengan Pi yang mencoba sholat karena merasa dirinya pun juga muslim disamping
juga meyakini Hindu dan Kristen. Pada film Kingdom of Heaven, pasukan muslim
pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi melaksanakan sholat berjamaah tepat sebelum
menggempur Benteng Yerusalem. Sementara para ksatria Salib menyaksikan mereka
sedang beribadah.
Ben Kingsley dalam The Physician (2013) |
Kesalahan sejarah dan budaya pun tak luput dari perhatian saya selama menyaksikan film-film tersebut. Contohnya, pada The Physician. Film produksi Jerman ini mengisahkan tentang seorang pemuda Kristen dari Inggris yang rela melakukan perjalanan jauh menuju Isfahan dan menyamar sebagai seorang Yahudi demi diterima sebagai murid Ibnu Sinu, Bapak Ilmu Kedokteran. Dari beberapa ulasan yang saya terima, film arahan sutradara Philipp Stolzl tersebut keliru menampilkan figuran di Isfahan yang berdialog dengan bahasa Arab. Walau padahal Isfahan terletak di wilayah Persia. Selain itu film ini juga menampilkan sosok Ibnu Sina (Ben Kingsley) yang mati bunuh diri.
Bukan
hal yang aneh memang bila film-film Hollywood telah lama menampilkan Islam dan
umatnya melalui gulungan film-film mereka. Proyeksi yang ditampilkan pun tak sesuai dengan kehidupan umat muslim saat ini. Tak semua umat muslim radikalis. Liriklah kehidupan umat muslim di Turki dan Uni Emirat Arab modern ini yang cukup terpelajar, ramah, dan toleran. Ibarat bagaimana mereka berusaha
menampilkan suatau peradaban masyarakat di luar mereka, sementara pengetahuan
mereka sendiri terhadap golongan tersebut masih kurang. Menonton film pun
bukanlah hal yang buruk selama kita bisa memilah hal-hal baik maupun hal-hal
buruk pada film tersebut. Saya sendiri pun juga hobi menonton film. Pun
mempelajari Islam, tak cukup dari media-media macama surat kabar maupun film,
tapi lebih baik kepada umatnya langsung.
Tulisan ini kece sekali min
BalasHapus