Indonesia Palsu a la Orang Luar


Pernah nonton Fast 5? Pernah dong ya. Selain mobil-mobilnya yang keren dan aksi-aksi laganya yang menegangkan, apa yang menurutmu menarik dalam film tersebut? Jangan bilang kepala licin Vin Diesel, Tyrese Gibson, dan Dwayne “The Rock” Johnson. Memang menarik sih hehe... Tapi bagi saya, bukan hanya itu yang menarik. Bagaimana para kru film ternyata tidak benar-benar mengambil lokasi syuting di Rio de Janeiro, Brazil, melainkan di Puerto Rico.

Ya, di Puerto Rico. Anda tak salah baca. Entah saya sendiri belum pernah ke Puerto Rico maupun ke Rio de Janeiro. Selain Fast 5, film lain yang menyulap Puerto Rico menjadi kota karnaval tersebut adalah Falcon Rising, film aksi bela diri yang dibintangi Michael Jai White. Keseriusan para kru film luar negeri juga terlihat pada film Kingdom of Heaven dimana mereka mengubah Maroko menjadi Yerusalem pada masa Perang Salib Abad Pertengahan. Tahun 1998, Steven Spielberg pun memilih Irlandia sebagai lokasi syuting bagi film Saving Private Ryan yang bersetting di Prancis dibawah pendudukan Nazi dari Jerman. Edward Zwick dan kru-nya pun tak kalah serius. Untuk film The Last Samurai yang bersetting di Jepang era Meiji, sutradara berdarah Yahudi tersebut menyulap New Zealand menjadi Negeri Para Samurai. Kebetulan sekali Gunung Taranaki cukup menyerupai Gunung Fuji. Tak ketinggalan film The Kingdom yang ceritanya di Arab Saudi, namun pengambilan gambar hampir seluruhnya di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat.

Lalu, bagaimana dengan negara kita sendiri, Indonesia? Apakah kru film luar negeri pernah membuat “Indonesia” palsu?

Tentu saja sebagai negara kepulauan terluas di dunia, negara maritim terbesar, negara dengan kebudayaan yang sangat berwarna-warni, negara dengan pemandangan-pemandangan yang indah, tapi juga negara dengan permasalahan-permasalahan kompleks, Indonesia pun pernah menjadi ketertarikan sendiri bagai para filmmaker luar negeri. Saya tidak ingin membahas bagaimana Indonesia pada film Blackhat ataupun After the Dark karena keduanya memang menggunakan Indonesia sungguhan sebagai lokasi syuting-nya. Yang saya maksud, seperti pada dua paragraf paling awal tulisan ini, yaitu suatu tempat bukan di negara kita, tapi bersetting di negara kita ini. Mereka menyulap sedemikian rupa hingga menyerupai Indonesia. Ada yang hampir mirip, malahan ada yang sama sekali nggak mirip.

***AWAS!!! SPOILER ALERT!!!***


Yang ga mirip (menurut saya), yaitu Gold, film arahan sutradara Stephen Gaghan tahun 2016. Film ini terinspirasi dari kejadian nyata mengenai skandal pertambangan Bre-X. Dikisahkan CEO perusahaan pertambangan Washoe (nama fiktif untuk menggantikan nama perusahaan aslinya), Kenny Wells (Matthew McConaughey), melakukan perjalanan ke belantara Kalimantan sambil dibantu oleh seorang geografis, Mike Acosta (Edgar Ramirez), demi menemukan sumber pertambangan emas. Meskipun dinominasikan dalam Golden Globe untuk Best Original Song, tapi film ini masih banyak yang mengganjal, terutama bagi orang Indonesia yang menontonnya.

Bagi seorang pribumi Nusantara yang tinggal di Jakarta atau setidaknya pernah ke Jakarta, pasti akan merasa banyak hal ganjil mengenai representasi ibukota negara kita tersebut. Gold mengambil lokasi syuting di Bangkok (taulah dimana itu) untuk menciptakan Jakarta imitasi para kru film. Saat gambar pertama Jakarta diperlihatkan, sepertinya memang benar-benar Jakarta. Lalu lintas yang macet, Sungai Ciliwung dan pemukiman-pemukiman kumuhnya, hingga taksi Blue Bird yang “khas” Jakarta banget (apalagi buat saya yang orang Bekasi dan sering main ke Tebet). Lucunya adalah saat Kenny memasuki hotel sambil menaiki taksi. Padahal jelas banget kalau taksi yang muncul di gambar-gambar pertama ibukota kebanyakan adalah taksi Blue Bird dengan gaya mobil sedan modern. Tiba-tiba, taksi yang dinaiki Kenny malah mobil sedan jadul tahun 70 hingga 80-an dengan warna bodi kuning. Saya pernah beberapa kali ke Bandara Soekarno-Hatta dan belum pernah sekalipun melihat ada mobil taksi gaya klasik warna kuning. Lebih kacau lagi saat Kenny berada di lounge hotel. Terlihat jelas ada sungai lebar (Ciliwung kah maksudnya??) dengan perahu wisata beratap hiasan tanduk yang sepertinya tidak ada di Jakarta. Khas Bangkok banget! Mungkin buat yang pernah nonton film Thailand, bisa dengan cepat sadar bahwa itu adalah Bangkok, bukan Jakarta.

Dan... O lala. Saya mencari-cari data kemanapun mengenai anak-anak Pak Harto, tidak ada dari mereka yang bernama Darmadi Suharto atau yang dalam film ini disapa ‘Danny’. Sebagai anak seorang presiden, Danny sendiri tampil khas pangeran-pangeran manja dan gemar foya-foya a la yang sering ditampilkan Hollywood. Masa iya gampang banget si Kenny ketemu anak presiden pada masa Orde Baru saat itu. (Saya lupa ngasih tau kalau film ini setting-nya jaman pemerintahan Pak Harto)

Permasalahan bahasa dan aksen pun tak luput dari perhatian bila orang-orang Indonesia menonton tempat ini. Mungkin aksen aneh Edgar Ramirez saat berbicara dalam bahasa Indonesia tak saya permasalahkan karena beliau sendiri berperan sebagai seorang geografis asing. Yang jadi masalah adalah bagaimana tokoh-tokoh ‘Indonesia’ sendiri berbicara dalam bahasa Indonesia yang sulit dimengerti orang Indonesia. Seperti contohnya saat pimpinan pekerja (yang ceritanya orang lokal) memberi perintah, entah dia berseru apa, para pekerja segera menebang-nebang pohon pisang di sekitar mereka. Malah kata dalam bahasa kita yang paling sering didengar adalah kata “cepat”. Mulai dari kata “cepat” yang diteriakkan berkali-kali oleh para pekerja tambang hingga para anggota TNI.


Coba bandingkan dengan Krakatoa: The Last Days (2006) dan The Year of Living Dangerously (1982). Keduanya malah lebih serius untuk menampilkan Indonesia. Krakatoa: The Last Days sendiri mengambil lokasi syuting di Afrika Selatan. Kok bisa!? Saya sendiri juga heran bagaimana mereka bisa menggaet para pemeran ekstra yang berwajah “indo”, sementara mereka mengambil lokasi syuting di negara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Afrika Sub-Sahara yang berkulit hitam). Memang masih ada yang ganjil seperti pemeran tokoh pribumi, Tokaya (entah daerah mana yang punya nama seperti ini), diperankan oleh aktor Singapura berdarah Tamil, Ramon Tikaram. Istri Tokaya dan anak-anaknya pun sepertinya pun diperankan oleh orang-orang berdarah India. Wajah Tokaya dan keluarganya pun terkesan masih sangat kontras bila dibandingkan dengan penduduk sekitar yang terlihat cukup pribumi.


Aksen pun lagi-lagi masih jadi permasalahan. Bukan hanya aksen, tapi juga pemakaian bahasa yang dipakai. Saat Tokaya, seorang pribumi yang bekerja untuk Belanda, diejek pribumi lainnya, istri Tokaya bertanya: “apa yang sedang berlaku?” Mungkin maksudnya “apa yang sedang terjadi” kali ya!? Hihi... Para pribumi pun juga muncul dalam film ini mengejek Tokaya dengan sebutan “putih”. Mungkin maksudnya terjemahan dari kata “white”. Karena yang saya tahu, hinaan untuk pribumi yang bekerja bagi Belanda adalah “londo ireng” yang artinya “Belanda hitam”. Kesalahan lainnya pun muncul dengan kenampakan seekor bekantan yang padahal habitatnya di Kalimantan. Yah, wajarlah mungkin karena film ini risetnya lebih fokus ke penampilan budaya penduduk Hindia-Belanda kala itu serta rentetan peristiwa erupsi Gunung Krakatau.

Selebihnya, Krakatoa: The Last Days masih jauh lebih baik daripada Gold. Keren banget malah penampilan visual representasi untuk Indonesia pada saat itu. Busana penduduk, rumah-rumah, serta kegiatan para nelayan dengan perahu-perahu bercadik mereka yang khas Indonesia banget. CGI Gunung Krakatau dengan pemandangan pesisir jadi mengingatkan saya pada lukisan bergambar pantai, laut, dan gunung karya salah seorang seniman lokal yang kini terpampang di dinding rumah salah seorang teman. Penampilan efek visual dan CGI dalam film ini, ditambah pendalaman peran para aktor cukup memberi nilai lebih pada film ini. Ga sia BBC keluar banyak duit hanya untuk membuat film doku-drama televisi macam ini. Iya, ini film TV bukan bioskop.


Terakhir! The Year of Living Dangerously. Siapa disini penggemar Mel Gibson dan pengen ngeliat akting doi waktu masih muda? Hehe... ya, The Year of Living Dangerously diramaikan oleh aktor muda Mel Gibson (waktu itu emang masih muda hehe...) dan Sigourney Weaver. Ceritanya, Mel Gibson memerankan seorang wartawan Australia bernama Guy Hamilton yang ditugasi ke Indonesia tahun 60-an. Waktu itu masih jamannya Pak Karno, lebih tepatnya pada masa penghujung pemerintahan Indonesia. Film ini sendiri mengangkat isu PKI yang saat itu lagi heboh-hebohnya. The Year of Living Dangerously sendiri mengambil lokasi syuting di Filipina. Ga kayak Gold yang menampilkan Jakarta secara pas-pasan, film ini malah menampilkan Jakarta dengan cukup serius seperti Patung Selamat Datang (walau malah kependekan), Hotel Indonesia, Tanjung Priok, becak, warung sate, wayang kulit, pedesaan a la Jawa, lagu Soleram, pedagang dengan gerobak dorong, pemukiman kumuh pinggiran kali, serta para tentara yang berkeliling kesana kemari berjaga-jaga kalau-kalau ada militan PKI. Ada pun penampakan bapak Sukarno di beberapa adegan, meskipun gak mirip-mirip amat.

Untuk aksen pun masih jadi perhatian meskipun film ini bisa dibilang menampilkan Jakarta dengan sangat mirip seperti aslinya. Dua aktor Filipina yang memerankan tokoh pribumi, Bembol Roco dan Domingo Landicho, mungkin sama-sama terlihat sangat Indonesia, namun masih ada perbedaan pada aksen bahasa Indonesia dalam dialog mereka. Bembol Roco memerankan asisten Hamilton yang bernama Kumar (bukan orang Bollywood ye...). Dalam beberapa momen, dialog bahasa Indonesia Kumar terdengar saat lancar terutama saat dia mengatakan “barang-barang di bagasi” atau “surat-surat keterangannya tidak ada, pak”. Tapi bila kita dengar saat Domingo Landicho yang memerankan supir mobil Hamilton yang bernama Hartono, malah terdengar ganjil banget. Di bagian akhir film ketika Guy Hamilton dipukul tepat mengenai mata oleh seorang perwira TNI, Hartono panik dan berusaha menolong Guy seraya berteriak-teriak dalam bahasa Indonesia yang terdengar kacau balau. Orang Indonesia sendiri bisa ga ngerti dia ngomong apa. Si perwira TNI sendiri hanya beraksen lancar saat berteriak “tahan dulu!” kepada Guy tepat sebelum ia memukul matanya dengan popor Kalashnikov. Sebelumnya saat ia menghadang Guy dan sempat berdebat sengit dengan Guy, bahasa Indonesia-nya terdengar tak bisa dimengerti. Apalagi saat ia berteriak “bawa dia pergi!” pada Hartono yang ketakutan, terdengar mirip bule yang ngomong. Padahal saat saya iseng-iseng lihat di iMDB, pemeran perwira TNI itu bernama Agus Widjaya Sudjarwo (lahh...???).


Lupakan si perwira TNI, entah hasil dubbing atau apa, dialog-dialog figuran lainnya terdengar ada yang sempurna lho. Seperti di awal film ketika Guy dan temannya, Billy Kwan (Linda Hunt), berjalan melewati pasar di malam hari. Saat itu datang seorang militan PKI yang mengejek Guy dengan mengatakan: “Kapitalis kamu ya!? Hey, kapitalis, Kita udah nggak butuh kamu lagi disini” terdengar sangat lancar. Adapula dialog-dialog penduduk lainnya yang juga terdengar bagus seperti: “Cuaca sepertinya hari ini baik”, “Tuan, tolong, tuan”, “Ada surat-surat keterangan?”, “Hey, pergi sana! Bikin malu aja...”, “Adek, ayo pulang”, “Hey, siapa ada spanduk diatas tuh!”, “Ayo bergegas cepat! Sukarno datang!”, "Hey, kenapa kamu disini!? Apa saya bilang...", “Amerika adalah negara kapitalis. Mereka tidak sehaluan dengan kita”, “Siapa yang nonjok itu? Lagi, siapa sopir itu?”, “Tonjok saja kedua matanya itu!”, "Saya tidak butuh uang". Bahkan, ada yang menggunakan bahasa slang khas Jakarta seperti: “Sialan lu. Mau kemana lu!? Gua bunuh lu...”, “Heh... ngapain lu disini?”, “Lu kenapa, hah!? Jangan ngamuk lu!”.


Sekedar tambahan, mungkin masih ingat tulisan saya dulu tentang bagaimana penggambaran umat Islam dalam film-film Barat? Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar, Indonesia pun tak luput dari penggambara macam itu ternyata. Dalam The Year of Living Dangerously, kita bahkan bisa mendengar kumandang suara azan serta pemandangan wanita-wanita berhijab muncul di beberapa adegan. Selain itu, tepat saat Guy memasuki Istana Negara, kita juga bisa mendengar rekaman tilawah dua ayat dalam surat Ath-Thoriq: “Khuliqo mim-maa-in daafiq. Yakhruju mim-baynits-tsulibi wat-taroo-ib”. Menjelang akhir cerita pun, Kumar mendatangi Guy yang terkapar karena terluka dan mengatakan bahwa pihaknya, PKI (Kumar diam-diam adalah seorang komunis), telah kalah oleh para jendral Muslim yang juga mengambil alih pemerintahan dan Sukarno sudah habis masanya.

Akhir tulisan, masih banyak film-film Hollywood yang bersetting di Indonesia, meskipun tidak syuting di Indonesia. Ga mungkin juga saya mengulas semuanya disini. Bagaimanapun hasil dari film yang mereka buat, semuanya adalah bentuk representasi pemikiran mereka terhadap sesuatu. Kadang memang menarik juga bila melihat bagaimana Indonesia, beserta segala trademark dan permasalahannya, diketahui oleh orang luar negeri. Sekarang bagaimana kita sendiri memandang Indonesia sebagai seorang rakyatnya, kembali pada diri kita masing-masing


"I'm touching a tiger"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat