Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?
Bagi seorang penyuka film animasi, terutama basis CGI (computer
generated imagery atau kadang disebut kalangan awam sebagi “animasi 3d”)
maupun anime, kehadiran film Bilal: A New Breed of a Hero (2015) terasa sebagai
hembusan angin yang baru buat saya. Kenapa bisa begitu? Tentu saja selama
bertahun-tahun kita disuguhi film-film animasi buatan Hollywood dan Jepang, kemudian
datanglah satu ini, Bilal, produksi Uni Emirat Arab, dengan dua versi rilis,
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Saya mendapatkan kesempatan untuk menonton
versi Arab dan ini merupakan suatu hal yang sangat baru buat saya. Apalagi film
ini menggunakan sosok seorang shahabat Rasulullah saw, muazin pertama dalam
Islam, suara terompahnya terdengar hingga surga dan idola kebanyakan anak-anak
muda Muslim sebagai simbol kesetaraan etnis, yaitu Bilal bin Rabbah al Habsyi
radhiyallahu ‘anhu.
Dengan grafik animasi CGI yang bagus dan halus, cerita yang
epik penuh nuansa kepahlawanan, serta OST lagu “Warrior” yang ditembangkan oleh
Akon dan komposisi aransemen oleh RedOne, bolehlah Bilal dianggap sebagai film
animasi terbaik produksi non-Hollywood. Kehadirannya cukup membuat saya
memutuskan untuk melupakan pada Knight Kris yang padahal sudah membawa nama
besar Deddy Corbuizer dan Kaesang Pangarep. Bukannya saya tidak nasionalis,
akan tetapi kedua film tersebut benar-benar suatu perbandingan yang jauh. Knight
Kris dengan biaya Rp 18 Milliar dan membawa nama dua tokoh besar malah tampil
medioker. Dan mau bagaimana lagi? Dalam berbagai perkara, keindahan visual
selalu menang. Tidak peduli produk negara manakah itu, produk negeri sendiri
ataupun luar, film dengan visual bagus selalu diutamakan. Jujur sajalah, di
tahun 2015 lalu, Minions-nya Pierre Coffin jelas terlihat lebih asyik ditonton ketimbang
Battle of Surabaya ‘kan?
Lupakan paragraf kedua yang kalimat-kalimat terakhirnya agak
out of topic. Sekarang kita harus kembali pada maksud judul diatas. Ya, saya
sangat menyukai film Bilal ini. Bahkan pernah saya singgung film ini di sebuah
ranah media sosial. Guess what, postingan saya banyak menerima komentar
negatif. Salah satunya menyebut bagaimana film ini menyebarkan paham
liberalisme dan saya berdosa karena telah menonton serta merekomendasikannya
pada orang-orang terdekat. Bukannya saya tak percaya pada dosa, tapi bukannya
sudah begitu banyak orang yang merekomendasikan film-film a la Barat yang di
tengah-tengahnya ada saja adegan kata-kata kotor, aksi kekerasan, wanita umbar
aurat, dan ranjang panas? Penasaran soal itu, maka saya pun memutuskan untuk
mengklarifikasi mengenai paham liberalisme pada film Bilal: A New Breed of a
Hero.
Saya menemukan dua artikel dari dua media online yang berbeda
ikut menyinggung terkait paham liberalisme pada film Bilal dan bagaimana film
ini dikatakan tak baik ditonton oleh umat Muslim Indonesia. Memang terkadang
pemberitaan dari media online memiliki validitas yang dipertanyakan, namun
masyarakat awam tak peduli serta cenderung mudah percaya. Apalagi kalau membawa
nama brand besar Okezone, seperti teori jarum suntik. Karena itulah
klarifikasi adalah pilihan terbaik.
Pada artikel di Okezone berjudul “Film Bilal: A New Breed Of
Hero Tuai Kontroversi” yang dilansir pada 12 Februari 2018 lalu, masih
bersumber dari situs MuslimMatters, film Bilal menunjukkan beberapa poin
terkait paham liberalisme yang ditampilkan. Paham yang dimaksud adalah berikut:
1.
Tidak dijelaskan secara spesifik siapakah sosok Bilal
2.
Banyak adegan kekerasan
3.
Tidak ada penyebutan nama Muhammad dan Islam
4.
Tidak terdengar lantunan suara azan
Jujur, saya
tidak tahu bagaimana versi rilis bahasa Inggris-nya, namun berdasar dari yang
saya tonton di versi bahasa Arab, yang hanya point nomor satu yang benar.
Inipun masih bisa dijelaskan terkait memang film ini dibuat bukan hanya untuk
audiens umat Islam dan ditambah belum bisa dianggap sebagai sarana utama
dakwah. Ada tambahan tokoh fiktif, yaitu Ghufaira, yang berperan sebagai sosok
adik perempuan Bilal. Adapun kedekatan Abu Bakar as-Siddiq ra, Hamzah bin Abdul
Mutthalib ra, Saad bin Abi Waqqash ra, dan Shuhaib bin Sinan ar-Rumi ra sebagai
sosok pemeran pembantu juga merupakan bumbu tambahan film, dimana hal-hal ini
tidak akan ditemukan pada kitab-kitab sirah nabawiyah. Terkait riwayat Bilal,
beliau sejak kecil terlahir sebagai budak dari ayah bernama Rabbah yang orang
Arab dan ibu bernama Hamamah yang berdarah Habasyah (Ethiopia sekarang). Dalam film, Bilal terlahir sebagai anak kecil
dengan masa-masa indah bersama adik perempuan dan ibundanya di sebuah desa
dengan pemandangan khas padang rumput Afrika. Sosok sang ayah tidak
ditampilkan. Hanya sang ibu menjelaskan pada putranya bahwa sang ayah adalah seorang
pria yang gagah berani. Kenangan Bilal pada sosok ibundanya serta masa kecilnya
kemudian dibarengi mimpi buruk pasukan kuda hitam yang telah membunuh ibunya
menjadi objek utama yang disinggung dalam film. Seakan ada pesan moral
tersendiri yang tak perlu dijabarkan disini.
Banyak
adegan kekerasan? Saya rasa tidak. Adegan saat Bilal menikam Umayyah bin
Khalaf, mantan majikannya, tidak begitu diperlihatkan. Kita hanya diperlihatkan
wajah Umayyah yang sekarat dan tewas. Adegan pertarungan Hamzah, Ali bin Abi
Thalib ra, dan Ubaidah bin al-Harits ra melawan para jawara Makkah di pembukaan
pertempuran Badar pun sama sekali tidak memperlihatkan cipratan darah. Bukannya
kita sendiri senang menonton serangkaian adegan pertarungan tim Avengers
pimpinan Captain America melawan musuh-musuhnya? Ataupun aksi Naruto dan kawan-kawan
ninjanya menghadapi Akatsuki? Film Bilal sendiri tidaklah ditujukan untuk
anak-anak dibawah umur 13 tahun.
Tidak menyebut
nama Muhammad dan Islam? Sekali lagi, saya tidak tahu bagaimana versi rilis
berbahasa Inggris-nya. Namun, dalam versi Arab, nama Muhammad dan Islam sempat
disebut. Kenapa yang ditonjolkan sebagai sosok mentor bagi Bilal adalah Abu Bakar
dan Hamzah? Tentu saja karena adalah tabu menampilkan sosok Rasulullah saw. Abu
Bakar ra dan Hamzah ra lebih terlihat sebagai perantara atas apa yang diajarkan
Nabi Muhammad saw kepada Bilal sendiri. Hal ini seperti bagaimana pernah muncul
pada The Message (1977), film animasi Muhammad the Last Prophet (2002), dan
serial televisi Omar di tahun 2012. Jangan lupa, Abu Bakar ra adalah sosok yang
sangat berjasa dalam hidup Bilal karena membebaskan muazin pertama dalam Islam
itu dengan uangnya sendiri.
Tidak ada
azan? Azan sempat terdengar dua kali malahan sepanjang film; pada pertengahan
setelah para shahabat selesai membangun Masjid Nabawi dan pada akhir film.
Sebagai
tambahan, sebuah artikel di Harian Umum yang rilis pada 8 Februari 2018 juga
menyebutkan satu point yang membuat saya terbahak; adik perempuan Bilal yang
tampil tak berhijab. Bukankah memang masa Arab jahiliyyah dulu belum ada
perintah menutup aurat?
Wallahu a’lam.
Versi bahasa Inggris pada film ini memang belum saya tonton.
Pernyataan-pernyataan di atas kemungkinan adalah hasil terjemahan
artikel-artikel berbahasa Inggris dari orang yang mungkin sudah menonton versi
internasional-nya. Namun sebelum sembarangan men-judge, ada baiknya kita
mengklarifikasi atas setiap hal yang kita terima. Ada-ada saja orang yang
mungkin belum menonton tapi sudah bilang “eh, film Bilal katanya menyebarkan
paham liberla ya?”. Terus apa bedanya kita dengan ibu-ibu RT yang senang gosip.
Maka jawaban saya: Tonton saja dulu. Bagi saya, film ini tetap rekomendasi
apalagi buat yang merasa bosan dengan film-film animasi buatan Pixar dan
Dreamworks.
Terkait
paham-paham liberalisme dan kita langsung bilang “jangan tonton film Bilal!”,
mohon bercermin dulu. Bukannya kita sendiri senang nonton film-film Hollywood
yang malah lebih jelas dan lebih banyak menampilkan pesan-pesan negatif
terselubung maupun tidak?
Saya juga berfikir agak aneh saat ada beberapa orang yang kecewa karena ghufaira (adik bilal) tidak memakai hijab, padahal ceritanya memang berkisah pada masa jahiliyah.
BalasHapusTulisan anda sangat membuka logika saya mengenai film bilal.
Setuju banget dengan postingan ini, semoga terus membuat postingan yg bermanfaat, membuka pemikiran orang2 disana yang selalu menjudge tanpa menelaah lebih dalam terlebih dahulu, seharusnya baca dulu sejarahnya dari awal dan rinci, film ini hanya gambaran singkat, mereka saja yang tidak baca sejarah, wallahu'alam
BalasHapusSimak yang betul dong ni film ni film kan ada unsur melebihkan karena film lalu dalam setiap riwayat berbeda penyampaiannya!
BalasHapus