Jakarta: Perang Orang Berkepentingan
Akhir-akhir ini, media-media berita
di Indonesia sedang hangat-hangatnya mengangkat isu-isu permasalah di ibukota
kita tercinta. DKI Jakarta, sebagai provinsi letak dimana pusat pemerintahan
negara berada, jelas apapun yang terjadi disana, mempengaruhi langsung seluruh
wilayah di Tanah Air tercintanya. Mulai dari polemik RS Sumber Waras, reklamasi
Pluit, penolakan pemimpin non-muslim hingga sang gubernur provinsi yang
terang-terangan melecehkan salah satu ayat dalam kitab suci al-Qur’an. Semua
berita tersebut tak pernah bosan dibaca di koran pagi hari sambil ditemani
pisang goreng dan secangkir teh hangat.
sumber gambar tertera di watermark :) |
Jakarta, sebagai ibu kota tercinta.
Seakan sedang terjadi peperangan besar disana. Bukan perang antara tentara dari
satu negara melawan negara lain, melainkan perang antara mereka yang
berkepentingan. Lebih tepatnya, perang tak bersenjata dan tanpa menumpahkan
darah yang melibatkan para politikus, pebisnis sampai para kyai. Jelas
sangatlah mengandalkan intelektual dan moral dalam peperangan ini. Lebih seru dan
asyik bukan? Sepertinya tak ada darah tertumpah seperti di film Kingdom Of
Heaven atau Saving Private Ryan.
Namun eh namun, ada yang terkorbankan
eksistensinya. Keadaan mereka pun ditentukan oleh hasil akhir peperangan.
Mereka bisa berjaya dengan perut terisi, tapi bisa pula makin melarat. Ya,
mereka adalah rakyat kecil. Apapun jalan yang terjadi, siapapun yang mengambil
langkah, keadaan mereka pun berubah. Pengaruhnya pun juga kena ke mereka
langsung.
Dari dulu, Jakarta memang selalu
penuh polemik. Dari sejak namanya masih Sunda Kelapa, ada pertempuran besar
antar para pejuang pimpinan Fatahillah dengan para pendatang dari Portugis.
Kemudian saat berganti nama menjadi Batavia, ada peristiwa Geger Pacinan, yaitu
pemberontakan para warga Tiongkok melawan kesewenang-wenangan VOC. Sampai
sekarang pun masih begitu. Hanya waktu, pelaku, dan perkembangan peradaban yang
berbeda. Ada kapitalis yang ingin membangun mall, lantas siapa yang tempat
tinggalnya harus dikorbankan? Siapa lagi kalau bukan pribumi?
Entah itu orang Betawi, Jawa, Sunda,
Bugis, Madura, ataupun Minang, yang namanya pribumi pasti tertindas. Apalagi begitu
tanda tangan dari Pemda sudah joss gandoss. Artinya, pebisnis yang notabene foreigners,
bisa seenaknya “main monopoli” di lahan pribumi, dibantu Satpol PP yang
mayoritas anggotanya pribumi pula. Ini ‘kan jauh saat era agresi Belanda dulu.
Para pejuang kemerdekaan harus berhadapan dengan tentara KNIL yang kebanyakan
malah pribumi. Paling cuma sersan, letnan, atau kaptennya yang berambut pirang.
Masalah tidak hanya sampai disitu.
Konflik umat beragama pun juga turut mewarnai Negeri Ondel-ondel ini. Parahnya
lagi, dibarengi dengan permasalah etnis pula. Basuki Tjahaja Purnama, atau yang
kerap disapa “Ahok”, mulai memimpin DKI pada Oktober 2014 lalu. Masyarakat
mengakunya adem ayem saja. Mereka berpikir keadaan akan membaik. Ternyata eh,
ternyata, keadannya ya kayak orang Jawa bilang, “podo wae”. Tapi kok ya
sekonyong-konyong kita yang mengakunya berdarah pribumi, malah
mengait-ngaitkannya lantaran Ahok berdarah Tiongkok? Wah, kalau begini bisa
masuk ranah rasisme lho.
Tidak ada yang boleh asal
menyalahkan. Tapi kalau bisa, kita harus hentikan kebiasaan men-“tidak
apa-apa”-kan sesuatu . Kita yang mayoritas muslim, harusnya tahu substansi
seorang pemimpin, berikut latar belakangnya. Semuanya ada dalam saripati agama
kita.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاًً(النساء:59)
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah
Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kesudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”(Q.S An-Nisaa: 59)
Dalam sejarah umat manusia, belum satupun dapat
terwujud sosok pemimpin sehebat kepemimpinan Rasulullah SAW. Adapun keteladan
beliau sebagai pemimpin yang wajib kita semua tahu.
·
Pemimpin
harus dekat dengan tuhan dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran
Tuhan yang baik dan luhur.
·
Pemimpin
haruslah seorang yang ikhlas (nothing to loose), tanpa mengharap pamrih kecuali
untuk beribadah pada Tuhan melalui pengabdiannya kepada rakyat.
·
Pemimpin
harus sosok yang jujur dan adil. Dan khalifah umar bin khaththab merupakan contoh
pemimpin yang mampu membedakan mana kpentingan pribadi dan mana kepentingan
Negara.
·
Pemimpin
harus mencintai rakyat dan mendahulukan kepentingannya diatas kepentingan diri
keluarga dan golongannya.
Singkatnya, pemimpin itu haruslah:
muslim, berilmu, adil, punya skill, serta sehat jasmani dan rohaninya. Joss
gandoss banget kan agama kita menjelaskan kriteria seorang pemimpin sejati? Ini
bukan cuma untuk ranah DKI Jakarta yang
mayoritas penduduknya muslim lho. Tapi juga di tempat dimanapun umat muslim menjadi
mayoritas. Jangan malah jadi –maaf- sapi yang padahal lebih kuat badannya, tapi
mau aja dituntun sama peternak yang tubuhnya kurus.
Kok ya kita sendiri adem-ayemnya saja
begitu seorang non-muslim terpilih jadi seorang pemimpin? Dengan embel-embel keberagaman
pula. Ditambah ada saja dari kita yang beranggapan bahwa agama dan politik itu
beda, jangan dicampur adukkan. Kalau beda, sirah Rasulullah Saw memangnya tidak
dibaca dengan baik dan benar.
Kemudian kita heboh lantaran adanya
penghinaan terhadap ayat al-Qur’an. Tepatnya pada surat al-Ma’idah ayat 51. Itu
adalah ayat yang melarang kita untuk memilih orang kafir sebagai pemimpin. Lalu
dijadikan umpan balik oleh Ahok. Ahok memang cerdas, dia tahu kalau umat muslim
sekarang pengetahuan agamanya banyak yang dangkal, tapi gampang emosi. Yah,
beginilah umat kita sekarang. Tahu agama sendiri cuma setengah-setengah. Dengar
Rosul dihina, ayat-ayat al-Qur’an dilecehkan, baru angkat suara. Kemarin kemana
aja, bozz? Haruskah kita menunggu para ulama yang turun?
Kembali ke judul, “Jakarta: Perang
Orang Berkepentingan”. Mulai dari adanya kasus pengadaan tanah RS Sumber Waras,
penggusuran pemukiman warga pinggiran, reklamasi teluk, penolakan terhadap
pemimpin kafir, hingga pelecehan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, semua muncul
karena adanya kepentingan. Entah apalah kepentingannya yang dipolitisasi.
Mungkin sudah jelaskah atau terselubungkah?
Kalau pernah menyaksikan film Red
Cliff, Jakarta seperti Tiongkok zaman perangnya Cao Cao vs Liu Bei. Lalu
dimanakah kita? Peran kita bagai Zhuge Liang yang tidak mengangkat senjata,
namun mengandalkan intelektualnya. Ya kita ini, kaum muda yang mengaku
terpelajar, tapi malah bilangnya “not my business” atau “bodo amat ape lo
kate”.
Komentar
Posting Komentar