Damn! I Love Novels!
Terdengar seperti slogan yang pernah
dibuat oleh VJ Daniel, “Damn! I Love Indonesia!”. Saya ganti menjadi seperti
judul diatas. Tunggu dulu, bukannya saya nggak nasionalis. Judul diatas dibuat sehubungan
dengan hobi dan ketertarikan saya pada novel. Ya, saya sangat suka membaca
novel. Saya kurang tahu pasti sejak kapan tepatnya mulai menyukai novel. Tapi
memang diantara semua jenis buku, yang sangat saya suka memang novel, disamping
juga menyukai buku-buku pengantar sejarah dan sosial.
Seingat saya dulu, saya pernah memenangkan
lomba gambar waktu masih duduk kelas empat SD. Lupa saat itu juara berapa, tapi
hadiahnya adalah sebuah novel ringan dengan ilustrasi, yang juga lupa judulnya.
Yang pasti, novel itu bercerita tentang tiga sekawan yang berusaha mengusut
kasus pencurian barang berharga di sebuah desa dekat Bandung, Jawa Barat.
Penulisnya pun kalau nggak salah ingat, berasal dari kota peuyeum tersebut. Saya
pun sangat menyukai novelnya. Apalagi ada ilustrasi-ilustrasi pendukung cerita
yang menarik. Kalau lagi nggak main bareng temen, saya baca novel itu dan
sempat hanyut dalam khayalan pada ceritanya.
Koleksi novel di kamar kos saya. Maafkan kualitas kamera ponsel yg jelek |
Waktu itu juga sedang booming novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Namun saya nggak minat dengan novel
tersebut lantaran saya sudah men-judge dari novelnya. Ya wajarlah, anak
kecil seumuran saya saat itu mana tertarik dengan buku tebal, tanpa gambar
pula. Daripada baca novel kayak gitu, mending pergi main bareng anak-anak
tetangga.
SMP dulu, saya di pesantrenkan oleh
orangtua. Yah, taulah di pesantren itu seperti apa bagi yang pernah merasakan
nyantri. Di pesantren saya, jangankan handphone atau mainan, komik pun
dilarang. Novel diizinkan, asal berbobot. Nggak boleh novel-novel komedi
murahan. Salah seorang temen sekamar saya dulu, dia bawa beberapa novel dan
ditaruh di lemarinya. Ada “Laskar Pelangi”, “Sang Pemimpi”, “Edensor”, “Ayat-ayat
Cinta”, dan masih banyak lagi. Dalam pikiran saya waktu itu, gile... padahal
seumuran tapi kayaknya dewasa banget nih anak. Hehe...
Di kala bosan, saya pun iseng
meminjam novel “Laskar Pelangi”. Sebodo amat deh nggak ada gambarnya. Ternyata,
Josss... ceritanya keren gila. Sekarang ngerti saya kenapa novel ini bisa booming.
Saya pun nyesel kenapa nggak suka novel ini dari dulu. Wajar sih, namanya juga
masih sd. Tapi saat itu juga bukan awal mula saya suka novel.
Kesukaan saya pada novel baru dimulai
saat jadi anak abu-abu. Anak sma kayak saya waktu itu udah ngerasa dewasa
banget. Banyak novel yang sudah saya baca saat itu, tapi saya juga suka komik.
Jadi kalau waktu senggang, nggak ngerjain tugas, lagi nggak main juga, ya saya
baca novel, atau nggak komik. Novel yang pertama saya baca waktu sma kalau
tidak salah “Edensor”. Wihh telat banget ya... padahal itu novel udah terkenal
dari jaman sd. Wkwkwk...
Sesudah itu, ada “Hafalan Shalat
Delisa”, “Moga Bunda Disayang Allah”, dan “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” karya
Tere Liye, “Bumi Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy, serta “Negeri 5 Menara”
dan “Ranah 3 Warna” karya Ahmad Fuadi.
Sekarang, saya tinggal di Jogja untuk
menyelesaikan jenjang perkuliahan. Untuk kedua kalinya pula, saya hidup jauh
dari orangtua. Kesukaan saya pada novel sempat redup. Kerjaan saya jadi
mahasiswa waktu itu ya cuma kuliah, ngurusi organisasi pergerakan dimana saya
bergabung, atau main kalau ada waktu. Nyaris nggak pernah lagi saya baca novel.
Hingga sekitar akhir semester tiga, saya kemalingan. Laptop saya digondol.
Sempet shock saya. Tapi ternyata ada hikmahnya. Entah kenapa ya, setelah kasus
kemalingan itu, saya jadi suka lagi sama novel.
Kebetulan waktu itu lagi banyak uang,
saya pakelah uang itu buat beli “Api Tauhid”-nya Kang Abik. Mantap ceritanya...
two thumbs up buat Kang Abik. Novel Api Tauhid menggunakan tokoh Fahmi, seorang
mahasiswa Indonesia yang kuliah di Madinah. Fahmi baru saja mengalami tekanan
batin lantaran ia diceraikan istrinya. Untuk menghiburnya, seorang mahasiswa
dari Turki mengajak Fahmi liburan ke negaranya. Sekalian napak tilas perjuangan
Bediuzzaman Said Nursi. Kisah Said Nursi pun diceritakan dalam goresan-goresan
El-Shirazy dengan sangat apik. Widih... saya pun juga nge-fans jadinya dengan
Said Nursi. Perjuangannya dalam menegakkan Islam di negerinya Sultan Muhammad
al-Fatih tersebut, di kala sekularisme Kemal Pasha merongrong, patut dijadikan
kenangan. Bukan cuma kenangan, tapi juga lembaran-lembaran penuh hikmah bagi
mereka yang berjuang di jalanNya. Allahu akbar!
Hanya dua minggu setelah saya beli
novelnya Kang Abik tersebut, liburan dimulai. Saya pulang ke rumah. Rencananya mau
beli laptop baru. Tapi malah nggak cuma beli laptop, saya juga beli dua novel
terjemahan yang sempet bikin saya tertarik, yaitu “Heaven” karya Alexandra
Adornetto dan “Bliss” karya Kathryn Littlewood. Tujuannya waktu itu saya adalah
untuk membedakan bagaimana novel lokal dengan novel terjemahan. Bagaimana
kiranya orang luar menyusun cerita-cerita mereka.
Dan setelah dua novel tersebut,
menyusul ada novel-novel lainnya yang saya beli kalau sedang banyak duit. Ga
hanya novel-novel bagus, saya juga kadang beli novel yang kualitasnya menengah
dari bazaar-bazaar ataupun toko buku yang menyediakan diskon (mahasiswa,
men...). Khilafnya saya sampai sekarang ya beli novel. Bahkan belum lama, saya
menghabiskan 54.000 hanya untuk novel konspirasi politik “Shadow Of Power”-nya
Steve Martini. Sebelumnya, “Dunsa” dari Vincent Callista. Untung belinya cuma 20rb
dari bazaar buku murah. Duh, duh, wkwkwk...
Baca novel ternyata banyak manfaatnya
juga lho. Dari beberapa situs yang saya buka, novel punya manfaat yang beragam.
Salah satunya adalah memperkaya intelektual berpikir (tapi saya nggak
kayaknya... hohoho). Ada lagi memperkaya imajinasi. Wahh, kalau udah ada kata “imajinasi”,
saya tertarik banget. Ada passion yang menohok. Bukan Cuma sekedar “imajinasi”-nya
Spongebob Squarepants ya.
Dalam novel, apapun digambarkan dengan tulisan. Walau kadang memang ada ilustrasi-ilustrasi pendukung. Satu hal yang perlu kita ketahui mengapa novel-novel yang menggunakan ilustrasi pun, masih minim dan tidak di semua bab ada. Gunanya untuk membiarkan imajinasi kita berkelana bebas selama membaca novel. Contohlah bila ada narasi "Ia menatap satu bangunan megah di hadapannya. Seluruh temboknya berwarna putih disertai ukiran-ukiran dari emas dan permata. Ukiran-ukiran tersebut membentuk motif bunga, tumbuhan, dan burung-burung." Pasti banget 'kan kita akhirnya membayangkan bangunan megah dengan tembok putih dan ukiran-ukiran yang menghiasnya. Itulah nilai lebih dari narasi tak bergambar pada novel. Kita sendiri yang mengilustrasikannya dengan imajinasi kita sendiri. Berbeda dengan komik atau novel grafis yang menggunakan ilustrasi gambar untuk menarasikan ceritanya.
Indonesia sendiri suda banyak melahirkan novelis-novelis cemerlang lho. Dari angkatan tua, ada Nh. Dini, Sri Hadidjojo, dan Pramoedya Ananta Toer. Kemudian di generasi yang baru-baru ini, ada mbak Asma Nadia, Andrea Hirata, Tere Liye, dan Dewi Lestari. Nama-nama tersebut bolehlah disandingkan dengan novelis-novelis luar yang nge-hits macam Charles Dickens, Sidney Sheldon, Steve Martini, J.K Rowling, Rick Riordan, Daniel Handler, Ernest Hemingway, Dan Brown, Stephen King, dan Chinua Achebe.
Dalam novel, apapun digambarkan dengan tulisan. Walau kadang memang ada ilustrasi-ilustrasi pendukung. Satu hal yang perlu kita ketahui mengapa novel-novel yang menggunakan ilustrasi pun, masih minim dan tidak di semua bab ada. Gunanya untuk membiarkan imajinasi kita berkelana bebas selama membaca novel. Contohlah bila ada narasi "Ia menatap satu bangunan megah di hadapannya. Seluruh temboknya berwarna putih disertai ukiran-ukiran dari emas dan permata. Ukiran-ukiran tersebut membentuk motif bunga, tumbuhan, dan burung-burung." Pasti banget 'kan kita akhirnya membayangkan bangunan megah dengan tembok putih dan ukiran-ukiran yang menghiasnya. Itulah nilai lebih dari narasi tak bergambar pada novel. Kita sendiri yang mengilustrasikannya dengan imajinasi kita sendiri. Berbeda dengan komik atau novel grafis yang menggunakan ilustrasi gambar untuk menarasikan ceritanya.
Indonesia sendiri suda banyak melahirkan novelis-novelis cemerlang lho. Dari angkatan tua, ada Nh. Dini, Sri Hadidjojo, dan Pramoedya Ananta Toer. Kemudian di generasi yang baru-baru ini, ada mbak Asma Nadia, Andrea Hirata, Tere Liye, dan Dewi Lestari. Nama-nama tersebut bolehlah disandingkan dengan novelis-novelis luar yang nge-hits macam Charles Dickens, Sidney Sheldon, Steve Martini, J.K Rowling, Rick Riordan, Daniel Handler, Ernest Hemingway, Dan Brown, Stephen King, dan Chinua Achebe.
Yah, pokoknya saya berharap kesukaan
saya ini takkan redup. Saya pun punya impian menjadi seorang novelis. Sekarang
ini baru lima belas bab novel karangan sendiri yang sudah saya tulis. Saya
mohon do’anya dari kalian yang membaca agar saya diberi kelancaran dan
kemudahan dalam menyelesaikan novel perdana saya kelak.
Kalian yang sedang membaca, cobalah
sesekali beli novel, minjem dulu dari temen pun nggak apa-apa. Ada sesuatu yang
berbeda yang sulit digambarkan, yang membuat imajinasi kita berpetualang entah
kemana. Tapi inget, tau waktu juga. Jangan mentang-mentang seneng baca novel,
sampai lupa sholat, makan, dan belajar. Hehe...
Oke, sampai sini dulu. See u next
time ;)
Komentar
Posting Komentar