Bisakah Media Mengendalikan Pikiran Kita?
Bisakah pikiran kita dikendalikan? Mungkin orang-orang bakal
berpikir bahwa kita gila bila kita percaya hal seperti itu. Ya, mengendalikan
pikiran kadang hanya muncul pada film-film atau serial kartun di televisi. Kadang
kita melihat bagaimana seorang tokoh jahat, contohlah seorang profesor yang
berniat menguasai dunia, menciptakan semacam alat yang dapat membuat manusia
mengerjakan apapun yang ia kehendaki. Alat itu bisa semacam pemancar sinyal,
senyawa gas yang membaur udara, atau suntikan dengan cairan khusus. Saya
sendiri pun sempat berpikir bahwa orang macam mana yang percaya hal beginian.
Tapi ternyata pengendalian pikiran memang nyata. Bahkan sekarang pun sedang
terjadi. Kok bisa?
Apakah kita merasa pikiran kita dikendalikan oleh sesuatu.
Tidak? Saya sendiri nggak pernah merasa pikiran saya dikendalikan oleh sesuatu.
Tapi sadarkah atau tidak, bahwa sudah ada beberapa pihak yang telah mencoba
mengendalikan pikiran. Lebih tepatnya untuk dilingkari, mengendalikan cara kita
memandang sesuatu dan berpendapat.
Bukan seperti di film-film fiksi ilmiah dimana seorang
profesor jahat atau organisasi yang berniat menguasai dunia yang bla... bla...
bla... sudah saya jelasin di paragraf pertama. Bukan, bukan begitu. Ada bebrapa
pihak yang mencoba menguasai cara kita memandang dan berpikir sesuatu dengan
sebuah alat yang bernama “media”. Ya, kalian tidak salah baca, “media”.
Apa makna dari media? Media adalah segala
bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan. Kata
media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium”.
Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau
"pengantar", yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan
penerima pesan (a receiver).
Apa yang ada dalam pikiranmu? |
Bisakah dengan suatu pesan, perspektif kita terhadap sesuatu,
diarahkan oleh semacam “kekuatan”? Jawabannya bisa. Pernah kita memandang
sesuatu berbeda dari kenyataannya? Contohlah, kita memandang agama kita sendiri,
Islam, yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, kita malah membeda-bedakan Islam di
negara kita dengan Islam di Timur Tengah sana. Kadang ada dari kita yang
memandang negatif Islam di Jazirah Arab. Kadang kita mengatakan bahwa Islam di
Negara-negara Arab sana cenderung radikal dan intoleran. Sementara kita jadi
over bangga dengan Islam di Indonesia. Benarkah? Padahal Islam, agama kita,
rahmat bagi siapapun tanpa memandang bangsa. Islam sama dengan yang di
Indonesia maupun di Timur Tengah.
Tadi
itu adalah satu contoh nyata bagaimana pikiran kita telah dikendalikan oleh
media. Media apa yang dekat dengan kita? Media memang banyak bentuknya. Dalam
hal ini yang saya maksud adalah media yang menyampaikan pesan-pesan berita. Media
macam ini pun banyak jenisnya. Ada dalam bentuk channel televisi, surat kabar,
maupun media online. Kita tahu tentang ISIS atau gerakan-gerakan radikal yang
mengatasnamakan Islam lainnya melalui media pembawa kabar ini. Saya tidak
bilang yang mereka beritakan adalah hoax. Hanya saja ada suatu keterpihakan
pada kepentingan pengelola. Contoh kecil dari kepentingan pengelola sendiri
bagaimana seorang politikus yang memiliki korporasi media, bisa saja
menggunakan korporasinya tersebut untuk sebuah kampanye politik. Terselubung
maupun tidak.
Begitupun
dengan pemberitaan media sekarang tentang keadaan di Timur Tengah. ISIS hari
ini, ISIS lagi besok. Seakan pikiran kita ter-mindset bahwa umat muslim di
Jazirah Arab sana memang sudah berpihak pada ISIS. Kemudian muncul
istilah-istilah lainnya macam “wahabi”. Padahal kita sendiri tak tahu apa
wahabi itu. Jadilah kita hamba-hamba asbun (asal bunyi) korban brainwash media.
Ditambah dengan kebanggan berlebih pada Islam di Indonesia, semakin jelas bahwa
kita sendiri telah terkotak-kotakkan.
Bukan
cuma konflik politik, kehidupan sosial dan gaya hidup pun juga bisa
dipengaruhi. Pikiran kita dialihkan gaya hidup modern itu gimana, hidup enak
itu gimana, temenan itu bagusnya sama siapa aja, punya barang yang seperti apa
aja, dan lain-lain. Bila pandangan kita sendiri sudah dikendalikan, maka
pikiran pun begitu.
Ada
dua teori dalam ilmu komunikasi yang nagi saya berhubungan dengan permasalaham
seperti ini, yaitu teori jarum suntik (hipodermik) dan teori agenda setting.
Pertama,
teori jarum suntik. Teori ini disebut juga teori peluru. Pertama kali
dikemukakan oleh Wilbur Schram pada kisaran tahun 1950-an. Teori ini
beranggapan bahwa media memiliki kekuatan untuk menyampaikan informasi pada
komunikan atau receiver yang cenderung pasif. Mudahnya seperti jarum suntik
yang dibelesakkan langsung menembus kulit kita. Atau seperti peluru, bagaimana
mudahnya informasi melesat langsung kepada khalayak penerima pesan.
Contohnya
pada kehidupan sosial dan gaya hidup, masyarakat Indonesia dewasa ini mayoritas
menyukai drama sinetron. Ambillah sinetron yang mengambil setting pada
kehidupan anak-anak remaja. Digambarkan pemuda ganteng dari keluarga kaya,
punya motor gede yang selalu dibawa ke sekolah, dikelilingi cewek-cewek cantik,
dan mainnya ke kelab malam atau game zone. Sinetron ini laris di kalangan
masyarakat. Kemudian ditayangkan, bahkan sudah mencapai season entah keberapa. Pada
masyarakat yang cenderung pasif dan sulit menyaring sesuatu yang ia terima,
mereka bisa saja berpikir “ini lho gaya hidup kekinian”. Kalau sudah sampai
begitu, tandanya pikiran anda sudah dikendalikan.
Kedua,
teori agenda setting. Pertama kali dikemukakan oleh Maxwell McComb dan Donald
Shaw. Mereka
mengemukakan bahwa media massa mempunyai kemampuan untuk memindahkan wacana
dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik. Hasilnya, bukan hanya opini, tapi perilaku khalayak publik
pun terpengaruh. Mudahnya, media mengalihkan kita pada sesuatu yang memang ingin mereka beritakan. Kemudian hal yang diberitakan itu pun tak sepenuhnya. Hal ini mempengaruhi cara publik berpikir,
Pernahkah kita bertanya mengapa kita, yang Muslim, tidak bangga dengan agama sendiri. Bisa jadi hal ini dipengaruhi dari bagaimana media menyampaikan informasi-informasi terkait Islam secara tidak keseluruhan. Dari media, seorang muslim yang awam mungkin hanya melihat hal-hal jeleknya saja pada agama sendiri. Ia melihat bagaimana salah satu channel tv mengabarkan kasus terorisma yang mengatasnamakan Islam di Timteng. Maka si Muslim ini, perlahan ia berpikir bahwa Islam memang radikal. Padahal, Islam sejatinya tidaklah mengajarkan aksi-aksi terorisme. Hal-hal seperti seharusnya kita kembalikan kepada pelakunya. Apakah kepentingannya? Lalu apa landasannya hingga berbuat seperti itu? Kita harus tahu bahwa inti dari ajaran agama ini sendiri adalah membawa keselamatan bagi siapapun, meski seorang non-muslim. Apakah hal ini pernah disampaikan oleh media? Kalau ya, mungkin jarang.
Pernahkah kita bertanya mengapa kita, yang Muslim, tidak bangga dengan agama sendiri. Bisa jadi hal ini dipengaruhi dari bagaimana media menyampaikan informasi-informasi terkait Islam secara tidak keseluruhan. Dari media, seorang muslim yang awam mungkin hanya melihat hal-hal jeleknya saja pada agama sendiri. Ia melihat bagaimana salah satu channel tv mengabarkan kasus terorisma yang mengatasnamakan Islam di Timteng. Maka si Muslim ini, perlahan ia berpikir bahwa Islam memang radikal. Padahal, Islam sejatinya tidaklah mengajarkan aksi-aksi terorisme. Hal-hal seperti seharusnya kita kembalikan kepada pelakunya. Apakah kepentingannya? Lalu apa landasannya hingga berbuat seperti itu? Kita harus tahu bahwa inti dari ajaran agama ini sendiri adalah membawa keselamatan bagi siapapun, meski seorang non-muslim. Apakah hal ini pernah disampaikan oleh media? Kalau ya, mungkin jarang.
Seperti
yang sudah disampaikan pada paragraf keenam, media ada dan mengerjakan tugasnya
sebagai kepentingan si pengelola. Jadi jangan heran bila ada media yang
cenderung menyanjung sesuatu, menjatuhkan pihak lain, atau mengalihkan
pandangan kita. Mayoritas media pun cenderung sepotong-sepotong menyampaikan
berita hingga kita salah mencernanya. Salah mencerna bisa berakibat pada
mudahnya pandangan dan pikiran kita dibelok-belokkan. Apalagi kalau sumbernya tak jelas, dari media sosial pula. Sikap kita adalah untuk
selalu cermat memilih media yang kita jadikan asupan serta mengklarifikasi
setiap informasi yang kita terima. Di masa-masa
sekarang ini dan kemudian yang akan datang, moral dan intelektual kita
lah yang paling diandalkan.
Komentar
Posting Komentar