LGBT: Kebanggaan yang Keliru
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) kadang selalu
disertai dengan kibaran bendera pelangi yang berusaha mereka gagah-gagahkan –berpikir
bahwa mereka sendiri mampu kalahkan kegagahan bendera Sang Saka Merah Putih. Lalu
lengkap pula dengan tulisan “pride” yang dalam bahasa Inggris berarti “kebanggaan”.
Bangga? Bangga apanya?
O o la la. Ketika saya cek lagi, bahwa pada tahun 2014,
aktris Hollywood, Ellen Page, dengan bangga mengungkapkan dirinya adalah
seorang lesbian. Ditambah pusing saya ketika melihat berita yang dilansir Telegraph
pada 11 Juli 2017, seorang pria Muslim bernama Jahed Choudury mengadakan
pernikahan Muslim gay pertama di Inggris dengan pasangannya, Sean Rogan. Dengan bangganya,
Choudury mengatakan bahwa dengan ini dirinya bisa membuktikan bahwa seseorang
bisa menjadi gay dan juga seorang Muslim. Maaf, saya numpang izin mau kentut
dulu ya...
Sean Rogan dan Jahed Choudury |
Kenapa ada orang berani bilang LGBT adalah penyakit? Mengapa
dianggap mengancam? “Kan sekarang jamannya kita harus terbuka, menghormati
keberagaman dan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi sebagai seseorang yang dianggap ‘berbeda’,
kita ga perlu malu-malu. Ini bukan penyakit. Ini bisa terjadi secara natural
pada anak yang baru lahir”, begitulah mungkin kira-kira apa yang akan dikatakan
oleh seorang aktivis LGBT dalam upaya membela hak-haknya.
Saya bukan seorang ahli sosial dan juga bukan ahli dalam
urusan psikologi, apalagi yang terkait soal seks. Namun sebagai seorang yang straight
yang memegang teguh apa yang saya yakini adalah benar, saya tidak mau munafik
dengan menganggap bahwa LGBT ditoleransi oleh saya dan saya anggap wajar.
Tidak. Bagi saya apa yang mereka anggap sebagai “kebanggan” itu adalah abnormal,
penyakit yang harus disembuhkan, dan dicegah agar bahayanya tidak tertular pada
orang-orang terdekat kita.
Mengapa saya berani bilang bahwa LGBT itu abnormal? Dari
Republika Online tanggal 9 Februari 2016, Kepala Bidang Kajian Ilmiah Asosiasi
Psikologi Islam, Aliah B.P. Hasan mengatakan, perubahan identitas dan orientasi
seksual bukanlah sesuatu yang mudah. Terdapat bukti neorosains yang menunjukkan
perbedaan struktur otak antara homoseksual dibandingkan dengan heteroseksual. "Lingkungan
seseorang bisa mengubah otak, apa yang kita lakukan tercetak di otak,"
katanya.
Gampangnya, coba kamu bedakan bagaimana cara seseorang
berbicara yang besar perkotaan, pedesaan, orangtua yang punya hubungan
langgeng, broken home, keluarga berada maupun sederhana. Beda bukan? Cara
bicara adalah proyeksi pola pikir dan pola pikir tercetak dari lingkungan
sekitarnya. Lingkungan yang berbeda menciptakan pola pikir yang berbeda. Adapun
perlakuan yang diterima juga membentuk kepribadian. Ini yang kemudian kita
kenal sebagai teori modeling oleh Albert Bandura pada tahun 1986.
Lalu, apakah dari faktor genetik? Faktor ini dikenal sebagai
teori “Gen Gay” yang meyakini bahwa homoseksualitas adalah genetis sejak dari
lahir. Seseorang anak yang memiliki sifat homoseksual, maka berpotensi gen
homoseksual yang sama ada pada saudara kandungnya maupun berasal dari
leluhurnya. Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori “Gen Gay” adalah Magnus
Hirscheld dari Jerman pada 1899, yang menegaskan bahwa homoseksual adalah
bawaan.
Salah satu kecurigaan para ilmuwan terhadap penyebab gay pada
manusia muncul dari kode genetik unik Xq28. Kode ini pertama kali dikemukakan
pada tahun 1993 oleh Dean Hamer yang juga seorang gay. Ia mengkaji bahwa ini
adalah gen turunan dari ibu. Jadi kesimpulannya, dia menganggap
bahwa seseorang bisa terlahir sebagai gay natural. Pernyataan Hamer inilah yang
kemudian dijadikan senjata oleh para aktivis LGBT dalam memperjuangkan hak-hak
mereka.
Dean Hamer |
Lantas, bisakah dikatakan bahwa mereka menang? Ya, untuk
sementara waktu. Karena enam tahun kemudian, Dean Hamer meralat hasil risetnya
dan menyatakan bahwa faktor genetik tidaklah mempengaruhi seseorang untuk
terlahir sebagai homoseksual.
“Kami menerima bahwa lingkungan
mempunyai peranan membentuk orientasi seksual … Homoseksualitas secara murni
bukan karena genetika. Faktor-faktor lingkungan berperan. Tidak ada satu gen
yang berkuasa yang menyebabkan seseorang menjadi gay … kita tidak akan dapat
memprediksi siapa yang akan menjadi gay.”
-Dean Hamer-
Faktor lingkungan VS Faktor genetik: 1-0. Runtuhlah teori Gen
Gay oleh Magnus Hirscheld.
“Love is love. Itu adalah cinta. Anda
tak boleh menyangkalnya,” sahut seorang aktivis LGBT.
Cinta? Hmmm... I think not. Bersumber dari sebuah wawancara
eksklusif di situs IndonesiaOne bertanggal 7 Februari 2017 dengan seorang
mantan lesbian, ia menyebutkan bahwa cintanya yang ia dapat hanyalah cinta
semu. Hanya kepuasan seks yang ia dapatkan. Jelas, bukan cinta. Cinta semu-lah yang didapatkan alias
NAFSU.
Mengapa pula LGBT harus dicegah? Adakah kerugiannya bagi
sesama? Mengapa dianggap penyakit?
Tahu kan kecanduan narkoba? Itu termasuk penyakit. Sama LGBT
juga. Jerome Hunt (2012) menyatakan, orang-orang yang memiliki orientasi
homoseksual sekitar 12,2 kali lebih banyak menggunakan amphetamine dibandingkan
mereka yang memiliki orientasi seksual yang lurus. Tahu kan amphetamine itu
apa? Yaitu semacam obat penenang yang juga kadang digunakan secara ilegal sebagi
candu. Mereka juga sekitar 9,5 kali lebih banyak menggunakan heroin, sekitar
3,5 kali lebih banyak menggunakan mariyuana, dan sekitar 5 kali lebih banyak
menggunakan alkohol. Mendukung LGBT, mendukung legalkan obat-obatan terlarang
dan miras.
Sebagai tambahan, ibu Rosmelia, dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender (LGBT) merupakan gaya hidup yang potensial menyebarkan infeksi
penyakit HIV/AIDS. Beliau juga menuturkan bahwa 50% dari 600.000 pengidap
HIV/AIDS adalah pelaku hubungan sesama jenis. Pada tahun 2017 sendiri Dinas
Kesehatan Bekasi mengatan bahwa 60% pengidap HIV/AIDS adalah orang-orang gay. Hayooo...
jangan cuma pasang pita merah sebagai kepedulian terhadap pencegahan HIV/AIDS,
tapi juga mulai sekarang berhenti dukung “pelangi-pelangi”.
Satu lagi kesalahan mereka adalah, mereka berpikir bahwa
keluarga bisa dibangun dari hubungan sesama jenis. Secara biologis, kita sendiri
tahu bahwa laki-laki tulen dengan seorang laki-laki tulen ataupun transgender
sekalipun tidak akan bisa menghasilkan hubungan cinta baru yang bernama anak.
Cinta yang berkembang dan sia-sia bukan? Banyak dari mereka yang mengambil
langkah ekstrim dengan mengadopsi seorang anak. Bukankah tindakan itu malah
semakin menegaskan bahwa LGBT tidaklah natural dan memang suatu penyakit.
Laki-laki dan perempuan kenapa harus berbeda? Karena memang
untuk saling melengkapi. Bila dua orang dari jenis kelamin yang sama memuaskan
hubungan nafsu mereka, yang ada hanyalah cinta semu –seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya. Sampai kapanpun, tidak akan ada perempuan yang menjadi
suami atau ayah, maupun laki-laki yang menjadi istri atau ibu. Perbedaan pada
dua jenis kelamin itu ada bukan untuk dipaksakan untuk ngepas, melainkan
untuk saling menyelaras. Bukankah kita sendiri tahu bahwa magnet kutub selatan
hanya bisa menempel dengan sempurna pada magnet kutub utara, bukan sesamanya?
Toh, cinta yang baik adalah cinta yang nantinya bisa
menghasilkan hal-hal yang bermanfaat untuk kedepannya.
Meskipun saya jomblo, akan tetapi saya menghimbau agar
siapapun yang membaca tulisan, sudah berkeluarga maupun belum, agar bersama
menjaga lingkungan, terutama anak-anak, dari bahaya penyakit LGBT. Kita sudah
sendiri sudah menyadari betapa besar peran orangtua sebagai guru pertama dalam
hidup seorang anak.
Dan untuk pembaca yang mungkin merasa “bangga”, saya tanya,
apakah kalian betul-betul bangga dan cinta atau hanya mengikuti nafsu semata?
Nge-teh dulu yuk ahh... biar ga spaneng |
Meskipun saya jomblo saya tidak pamer kejombloan saya 😅😅😅
BalasHapusMantap banggg
yg komen lebih mantap
Hapus