Umat Islam Mumet Pilih Pemimpin


“Sa pu teladan sebagai pemimpin umat Muslim itu ya Ramzan Kadyrov, presiden Chechnya. Sa pu pemimpin cinta Rasul dan taat beragama toh.”


                “Ra gelem aku... Kadyrov itu pelanggar HAM, kacungnya Rusia ketika Perang Chechnya. Aku sih mending Erdogan. Sekularisasi Turki uwis paten tenanan di bawah kepemimpinnya.”



                “Maneh teh nggak ngerti pisan Erdogan itu saha? Erdogan ini dalang dibalik kudeta 2016 lalu. Eta teh gara-gara dia, harga-harga pada naik di Turki sana. Meding Raja Salman, khadimul haramain.”


                “Tidak sudilah awak. Klen tidak tahu? Raja Salman itu hidupnya terlalu glamour. Putra mahkotanya terlalu sableng. Supporter Israel.”



Begitulah kira-kira kalau dibuat dialog mengenai pendapat-pendapat umat Muslim di Indonesia kalau ditanya siapa diantara pemimpin-pemimpin dunia yang cocok menjadi pemimpin Islam. Kita pilih Kadyrov, salah. Pilih Erdogan, salah juga. Iya... karena memang menurut pendapat saya pribadi, belum ditemukan niatan umat Muslim untuk berishlah siapakah pemimpin mereka di masa depan. Toh, hanya Allah yang tahu nasib kedepannya bagaimana. Di dunia yang penuh fitnah ini, jangankan dari kalangan kafir, musuh kita pun juga ada dari kalangan sesama Muslim. Menjadikan pemimpin Muslim di luar negeri sebagai tauladan nggak apa-apa. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa kita bukanlah rakyat mereka. Persoalan besar umat Muslim Indonesia adalah siapakah yang pantas menjadi pemimpin Indonesia.




Di Indonesia sendiri, sedang ramai-ramai perang hashtag. Sekarang sudah masuk pertengahan 2018. Tinggal tunggu Pilpres 2019 nanti. Yang lagi viral adalah hashtag #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi. Yap, Joko Widodo memang menjadi sosok yang fenomenal dan kontroversial. Selain di sisi baiknya dikatakan merakyat dan sederhana, namun juga ditentang karena kewibawaan dan kinerjanya bisa dikatakan mulai tidak berjalan baik. Ramailah orang-orang mengangkat nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Amien Rais, TGB Muhammad Zainul Majdi, hingga abang dangdut Rhoma Irama (masih Alhamdulillah bukan Via Vallen). Yang tetap mengganjal adalah: kira-kira siapakah yang sudah diishlahkan oleh umat Muslim Indonesia sendiri? Masih lebih lucu pertanyaan para pendukung hashtag #2019TetapJokowi yang bilang: “Gak apa-apa #2019GantiPresiden, tapi yang jadi pertanyaan siapa yang pantas menggantikan selanjutnya?” 


Huahahahaha... emang dari sekian banyak masyarakat Indonesia sebagai negeri dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, cuma ada bapak Jokowi? Pake ngelarang orang masuk jalan tol juga lagi.




Kembali ke masalah soal pemimpin-pemimpin luar yang seolah-olah diidolakan oleh umat Muslim Indonesia. Sampai-sampai ada grup Facebook-nya segala, contoh: Sahabat Erdogan. Pantaskah kita menjadikan mereka sebagai teladan? Pantes-pantes aja. Namun sekarang kita harus tahu siapa yang kita dukung. 

Pernah ada orang bijak berkata:

“Kamu dengan orang yang kamu dukung berada di satu tempat yang sama”




Maksudnya, sifat seseorang dengan orang-orang yang menyukainya ya 11-12. Kita harus tahu mereka masih manusia. Ada kala mereka salah dan tidak selamanya selalu benar. Rasulullah Saw sendiri pernah salah karena memalingkan wajah saat lewat seorang sahabat bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang buta matanya dan dari kalangan orang miskin. Rasul sebetulnya tidak membenci Abdullah. Hanya saja saat itu beliau sedang membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dihadapan para pemuka kafir Quraisy. Allah Swt pun menegurnya dengan menurunkan surat Abasa yang artinya “Ia yang bermuka masam.”


Kembali kepada sosok kepemimpinan beliau, mulai dari memimpin dakwah di Mekkah, hijrah ke Madinah, membangun bentuk paling awal negara Islam bersama para sahabatnya, ahli strategi perang yang handal, pemegang kunci baitul mal, serta sosok ayah dan suami yang baik. Rasulullah Muhammad Saw adalah tauladan tak tergantikan dari sosok seorang pemimpin. Bukan hanya bagi umat Muslim, tapi juga bagi seluruh kemanusiaan. Jangan lupa, beliau masih manusia biasa. Bukan manusia setengah dewa, bukan pula setengah malaikat. Beliau meninggal pada tahun 632 Masehi. Dan kini 1386 tahun sudah beliau meninggalkan kita. 




Nabi Muhammad Saw juga bisa salah. Seperti cerita saya tadi antara beliau dengan Abdullah bin Ummi maktum radhiyallahu ‘anhu. Begitulah kita. Ada begitu banyak pilihan pada siapakah kita mau bertauladan. Pada Erdogan boleh, Kadyrov boleh, Raja Salman boleh, Sultan Hasanal Bolkiah boleh, Mahathir Mohammad juga boleh. Atau mau yang lokalan seperti TGB Zainul Majdi, Ahmad Heryawan dan Bang Haji Rhoma Irama Anies Baswedan? Ya boleh juga. Asal kita harus tahu siapa yang kita dukung. Pada suatu hari ada waktunya mereka salah. Jangan sampai seperti kejadian tahun 2006 ketika kita malah balik mencela KH. Abdullah Gymnastiar (mengingat beliau ulama, bukan pemimpin politik. Tapi boleh jadi contoh) lantaran beliau berpoligami dengan Alfarini Eridiani. Kitanya saja yang tidak mengerti bahwa poligami dalam Islam dan undang undang negara adalah diperbolehkan. 


Yah, itulah resiko dari fanatisme. Begitu kita fanatik pada satu sosok. Bila salah sedikit saja, kita malah balik mem-bully-nya. Atau seperti kasusnya Aa Gym, tenggelam dalam ketidaktahuan hingga sembarangan menghakimi. Adapun yang padahal sudah jelas-jelas salah, malah memaksakan diri untuk membenarkan. Bukannya itu munafiq?

Tidak masalah bertauladan pada seorang pemimpin. Akan tetapi, kita tetap harus ingat bahwa mereka manusia. Jangan kaget bila pada suatu hari nanti mereka melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak. Yang terpenting adalah, maukah kita menerima kebenaran? Itulah mengapa satu-satunya pemimpin tauladan hingga saat ini adalah Muhammad Saw yang seharusnya dicontoh oleh para pemimpin di era modern.




27 Juni 2018 lalu, baru saja kita menuntaskan Pilkada serentak. Yang paling heboh saya yakini adalah Pilgub Jawa Barat 2018. Seperti kata Haikal Hassan Baras melalui tweet-nya: “Jabar adalah kunci, Jabar adalah barometer, Jabar adalah miniatur, Gak aneh jika semua mati-matian berjuang kendalikan Jabar sebagai gerbang meraih Indonesia.”


7 Juli 2018 nanti hasil real count akan segera keluar dan warga Dataran Parahyangan-Cirebon sedang menanti-nanti hasilnya. Ini perkara pemimpin. Pilihan kita tiga hari lalu adalah masa depan Jawa Barat dan Indonesia. Kenapa saya ngomong ini? Coba baca lagi paragraf dari awal.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat