Sekolah Pertama Itu Bernama Keluarga

Pada bulan Maret lalu, bioskop-bioskop di Tanah Air atau mungkin di berbagai belahan dunia, diramaikan oleh pemutaran film Deadpool (2016). Sebagai sebuah film yang telah lama dinanti kehadirannya, tak heran bila Deadpool banyak merebut perhatian para penggemar film di Indonesia serta membuat tiket-tiket bangku bioskop habis terjual. Apalagi buat para penggemar film-film yang diadaptasi dari kumpulan komik Marvel, kehadiran Deadpool bisa jadi penyegar.


           

Namun disisi lain, selain ditunggu-tunggu, kehadiran superhero berbaju merah ketat ini juga menuai banyak kecaman. Terutama dari kaum orangtua. Banyak dari kalangan orangtua yang khawatir kehadiran Deadpool akan merusak moral anak-anak mereka. Memang bisa kita lihat dalam film arahan sutradara Tim Miller tersebut ada begitu banyak adegan pemakaian minuman keras, -maaf- seks bebas serta adegan-adegan yang kelewat brutal pada bagian actionnya. Ditambah tokoh yang diperankan oleh Ryan Reynolds itu juga banyak mengucapkan kata-kata kotor yang tak perlu saya tulis disini. Karena itulah film ini memang sangat dikhususkan bagi penonton yang sudah berusia sembilan belas tahun keatas.

Sudah jelas bukan bahwa Deadpool memang dibatasi bagi para penonton dewasa? Lalu kenapa pihak orangtua banyak yang memprotes akan kehadiran film tersebut? Bahkan saat itu sempat heboh seseorang yang mengaku ibu rumah tangga memprotes pemutaran Deadpool melalui status Facebook-nya. Menurut saya pribadi, bila memang suatu film telah dikhususkan bagi penonton dewasa, maka pemutarannya pun tak perlu disalahkan. Justru sekarang ada baiknya kita bertanya pada diri kita masing-masing, sudahkan kita menjaga buah hati kita yang masih dibawah umur dari masukan yang merusak?

 Pendidikan adalah satu kata yang takkan hilang dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya sekedar sang anak belajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, sains, sosial, dll. Pendidikan juga adalah bagaimana seorang anak belajat menempa akhlaq, moral dan kepribadiannya. Tentunya proses pembelajaran sang anak untuk hal-hal yang sudah disebutkan tadi sangatlah membutuhkan sokongan. Sokongan tersebut paling utama datang dari keluarga, kemudian dari lingkungan. 

Keluarga adalah sekolah nomor satu, tempat dimana sang anak pertama kali belajar. Fase pertama dalam pembelajaran sang anak adalah saat dimana ia menerima asupan moral, akhlaq dan kepribadian. Sangatlah tak berguna bila seseorang cerdas secara pengetahuan tapi moralnya, akhlaqnya bengkok. Saat dimana kasus kenakalan di kalangan remaja terjadi, atau penyimpangan sosial dilakukan oleh anak dibawah umur, yang bolong pada diri mereka adalah akhlaq dan moral. Tentunya, terasa hilang juga peran orangtua disini. Saya sadar bahwa adanya perjuangan besar saat sang ayah dan sang ibu mengasuh buah hati mereka. Tapi kurang lengkaplah bila pendidikan-pendidikan sosial kurang ‘disuntikkan’ pada sang anak. Malah sekarang ini sering kita lihat banyaknya orangtua yang asyik saja bekerja, sementara sang anak dibiarkan begitu saja.
            

Ketika sang anak berbuat nakal, orangtua jaman sekarang malah menyalahkan bapak dan ibu guru. Tak ketinggalan ada ustadz dan ustadzah yang tak luput dari penyalahan. Ini seperti cerita seorang ustadz saat saya masih nyantri di sebuah pondok pesantren di kota Bekasi. Sang ustadz bercerita bahwa ada orangtua dari keluarga yang kaya raya menemui sang ustadz. Orangtua itu meminta begini, “Pak ustadz, tolong anak saya dididik supaya tidak jadi anak nakal”. Reaksi ustadz itu memutuskan untuk menolak dan berkata, “Maaf, pak. Pesantren kami bukan sekolah anak nakal”. Bukan berarti sang ustadz tak peduli, ataupun bukan berarti pesantren tak mengajarkan moral, tapi sekali lagi seperti yang sudah disampaikan di paragraf sebelumnya, orangtua adalah ‘sekolah’ nomor satu. Lantas ketika sang anak jadi nakal, masih beranikah kita menyalahkan bapak guru dan bu ustadzah kita yang tercinta?
           
Satu kasus sudah terjadi. Pendidikan di Indonesia dihadapi ironi pada bulan Mei lalu. Nurmayani, guru SMPN 1 Bantaeng dipenjara hanya karena mencubit salah seorang siswanya. Padahal kita sendiri tahu bahwa dalam sebuah ranah pendidikan dibutuhkan apa yang disebut reward dan apa yang disebut punishment. Seorang guru mencubit murid yang nakal sebagai teguran itu wajar. Sebaliknya, saat sang murid bersikap baik, seorang guru pastilah memberikan reward, seperti contohnya nilai bonus pada rapor sang anak. Loh, ini kok bisa-bisanya orangtua murid lapor polisi hanya lantaran sang anak kena cubit? Ada baiknya para orangtua murid juga memulai introspeksi diri atas apa yang terjadi pada anak mereka.

Saya merujuk pada buku Komunikasi Hati karya Nyonyorino, nama pena dari penulis bernama asli Aprinol Amril, bahwa untuk menumbuhkan rasa harmoni pada keluarga, dibutuhkan komunikasi yang tepat.        Berjalannya komunikasi dalam keluarga tentunya mempengaruhi keadaan keluarga. Sebagai orangtua, tak perlulah mereka meninggalkan pekerjaan mereka masing-masing. Asal ada penggunaan komunikasi yang tepat serta adanya rasa saling pengertian, maka impian keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bukanlah lagi sekedar mimpi.

Contohlah bila orangtua selalu dekat dengan anak-anaknya, berbicara dengan bahasa yang sopan dan teratur serta selalu memberikan asupan nilai-nilai moral pada sang anak, harmonisasi dalam keluarga akan tercapai. Begitupun dengan semakin mudahnya pendidikan moral dan akhlaq bagi sang anak. Maka sang anak siap menghadapi lingkungannya nanti dengan bekalan dari sekolah nomor satu mereka, yaitu orangtua. Orangtua pun bila sudah memaksimalkan tugas mereka sebagai ‘guru moral’ bagi sang anak, kehadiran Wade Wilson alias Deadpool bukan lagi hal yang perlu dikhawatirkan.

“Memang benar sang ibu adalah sekolah bagi sang anak. Tapi anda, sang ayah, adalah kepala sekolahnya”
-Anonymous-



Catatan: ini adalah tulisan di blog saya yang lama yang diposting ulang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat