4 November 2016: Ujian Bagi Rakyat
Akhir-akhir ini sedang heboh pembicaraan mengenai aksi
besar-besaran yang akan terjadi pada tanggal 4 November 2016. Aksi tersebut
berupa unjuk rasa bela Islam sebagai respon dari penghinaan yang dilakukan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terhadap Surat Al Ma’idah
ayat 51 dari kitab suci Al-Qur’an. Media-media pun heboh memberitakan informasi
mengenai aksi ini dengan bahasa mereka masing-masing. Tak ketinggalan, media
sosial macam Facebook dan Instagram pun dijadikan semacam lounge digital oleh
mereka yang getol mendiskusikan aksi unjuk rasa diatas. Bahkan kerap ada saja
adu bacot atau semacam debat kusir yang melibatkan masyarakat dari berbagai
golongan, mulai dari yang melek banget sama perkembangan politik di Indonesia
sampai bocah yang masih ngerjain PR pemberian gurunya.
Ini tentang apa ‘sih? Kok bisa ya jadi segitu hebohnya?
Dimulai dari penghinaan oleh Ahok terhadap surat Al-Ma’idah ayat 51 pada 30
Maret 2016 lalu, jadilah buntutnya aksi protes besar-besaran dari kalangan umat
muslim. Di sisi lain, ada pun suara-suara yang apatis, yang cenderung masih
membela Si Penista. MUI bahkan sampai mendesak Polri untuk penjarakan Ahok. Aksi
besar-besaran ini sendiri sudah dilakukan pada 14 Oktober 2016, kemudian
gelombang dua-nya tepat pada 4 November mendatang. Para ulama menyebut ini
sebagai “Aksi Bela Islam” atau “Aksi Bela Al-Qur’an”.
Sempat tadi saya menyebut ‘suara-suara apatis’ kan? Ya,
benar. Dimana akan ada sebuah langkah besar yang akan kita lakukan, pasti ada
saja nada-nada sumbang yang tak enak didengar. Salah satu suara apatis bahkan
sempat datang dari Ibu Megawati Soekarno Putri, mantan Presiden RI. Sisanya,
kebanyakan dari para pengguna media sosial yang entah sekedar cari perhatian
atau memang kritis. Sebenarnya kita tak perlulah pedulikan suara tersebut.
Namun, ada waktunya juga kita bergerak. Seperti mereka yang rela turun ke
jalan, kita pun yang tak sempat bisa menyampaikan kebenarannya melalui
intelektual dan moral yang kita miliki.
Demonstrasi
atau unjuk rasa adalah istilah yang dipakai untuk sebuah gerakan protes yang
dilakukan di depan umum. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9
Tahun 1998 mengenai Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 1 dan
Ayat 1, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Kemudian pada Pasal 5 ayat 1, “Warga negara yang menyampaikan pendapat
di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum”.
Sudah
jelas bahwa demonstrasi adalah hal yang sah-sah saja dilakukan selama
pasal-pasal yang berlaku tidak dilanggar. Bahkan sudah menjadi hak dan
kewajiban untuk menyampaikan aspirasi rakyat atas ketidakpuasan terhadap mereka
yang diatas. Begitupun membela agama yang merupakan hak bagi kaum penganut
agama tersebut, adalah hal yang sah-sah saja untuk dilaksanakan. Apalagi dalam
bentuk demonstrasi. Bukankan umat Muslim di Indonesia adalah bagian dari rakyat
Indonesia? Maka suara-suara apatis yang menentang aksi Bela Islam nanti pun,
bagi saya, seharusnya tak punya senjata kuat untuk memprotes balik. Apalagi,
ini bukanlah sekedar aksi ‘Bela Islam’, tapi juga aksi ‘Bela Rakyat’. Loh? Kok
Iso, le? Ya, bisalah...
Secara,
sudah berjalan dari sejak Oktober 2014, nyaris tidak ada keputusan Ahok sebagai
gubernur yang cenderung memihak rakyat. Alih-alih malah memihak kaum berperut
besar. Mulai dari pengadaan RS Sumber Waras, Reklamasi Pluit, penggusuran
kawasan Bukit Duri, hingga pelarangan takbiran dan sebagainya. Itu semua bukan
hoax, boss. Jelas masyarakat makin gerah, kita pun yang nggak di Jakarta juga
jengah. Kita harus tahu bahwa apapun yang terjadi kawasan ibukota, akan
berpengaruh ujung-ujungnya ke seluruh Indonesia. Jadi, masih mau ngomong “That’s
not my business”?
Terus,
kenapa musti para ulama dan umat muslim yang turun ke jalan, boss? Iya, ya,
saya juga sempat mikir gitu. Kenapa musti ulama, kenapa nggak mahasiswa? Eits,
bukan berarti mahasiwa atau golongan rakyat lain ra iso milu. Bisa dan
boleh, boss. Hanya saja media sekarang yang memang suka sepotong-potong dalam
menyampaikan berita, jadi kita mikirnya cuma para ustadz, kyai, habib, dan kaum
santri boyongan MUI saja yang ikut. Makanya saya kasih judul “Ujian Bagi Rakyat”.
Menurut
saya pribadi, ini ada kaitannya bahwa sekitar 87% penduduk Indonesia memeluk
agama Islam. Agama yang rahmatan lil ‘alamin ini pun punya sejarah panjang di
Indonesia. Bahkan sampai para sejarawan belum tahu pasti kapan Islam masuk ke
bumi Nusantara. Dari dulu, bukan lagi rahasia, bahwa para ulama sudah menjadi
simbol bagi masyarakat kita. Saat era penjajahan pun, kaum kyai dan santri lah
yang berada di garis depan melawan antek-antek Snouck Hurgronje dan para keturunan
Oda Nobunaga. Jadi bisa dibilang, mereka adalah wakil tak langsung bagi rakyat
Indonesia, pahlawan-pahlawan yang namanya kurang tercatat baik. Tapi kerjanya,
bisa jadi lebih nyata dari para pejabat yang ketiduran di atas kursi empuk sembari dikipasi AC yang
adem semriwing.
Marilah
kita semua ubah pola pikir kita. Para ulama dan kaum santri adalah bagian dari
WNI. Jelas mereka punya hak untuk menyampaikan aspirasi mereka. Kita mau protes
dengan ngomong apa? Apalagi untuk aksi kali ini, bukanlah sekedar dalam langkah
membela agama mereka, tapi juga dalam upaya membela rakyat yang makin
tertindas.
Tunggu,
ini belum selesai. Karena tiba-tiba ada orang yang bilang “Kita main aman aja,
gausah masuk ranah politik”. Wohh... Kepriben!? Ya, kalimat tersebut
serupa dengan kalimat “Urusan politik nggak ada kaitannya sama agama”. Hooh?
Masa? Waktu pas pelajaran Sirah Nabawiyah kemana aja, boss? Rasulullah Muhammad
Saw nggak diutus sebagai pengangguran. Baginda Nabi juga panglima perang,
pemegang kunci baitul maal, juga pemimpin negara. Sejak kapan nggak ada
kaitannya agama dengan negara? Udah gitu mau main aman? Hello... apapun yang
terjadi nanti, apapun hasilnya, itu berpengaruh bagi siapapun. Kecuali, kalau
panjenengan mau naturalisasi jadi warga negara lain. Itu baru aman.
Saya
sedikit mengkritik perkataan Nadirsyah Hosen (dosen Fakultas Hukum, Monash
University, Australia) yang bilang “Kita harus jaga kesucian al-Qur'an dari kepentingan politik
sesaat. Qur'an itu suci. Politik itu kotor. Jangan dicampurkan”.
Saya setuju Al-Qur’an itu suci. Selamanya suci karena ia adalah kebenaran. Tapi
menganggap politik itu kotor? Kemudian keduanya tak bisa dicampuradukkan? Nope,
saya nggak setuju. Politik itu banyak wajahnya. Terdiri dari berbagai ideologi.
Ideologi-ideologi itu memang kebanyakan ciptaan manusia. Kemudian manusia
jugalah yang mempermainkannya. Jadi manusia yang kotor, bukan politiknya.
Kaitan
al-Qur’an dengan politik bisa dilihat pada surat Ali Imran ayat 104: “Hendaklah kamu menjadi umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”
Ayat diatas berkaitan dengan
hadits rasul yang diriwayatkan dua Imam: Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu:
“Siapa di antara kamu melihat sebuah kemunkaran
maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka
hendaknya ia merubahnya dengan mulutnya. Apabila tidak mampu juga, lakukan
dengan hati, dan itu adalah tingkat iman yang paling rendah.”
Dalam
hadits ini, Rasulullah Saw memastikan kepada kita bahwa dalam menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar haruslah disesuaikan dengan kekuatan dan kekuasaan yang kita
miliki. Gampangnya, seorang muslim harus menggunakan sarana yang paling efektif
bila dilihat dari otoritas yang dimiliki. Umat muslim di Indonesia menempati
posisi mayoritas, terdiri dari berbagai organisasi-organisasi pergerakan, serta
banyak pula yang mumpuni intelektualnya. Maka, gunakanlah sarana yang paling
efektif dalam menegakkan kebenaran, yaitu dengan jalan politik.
Diriwayatkan oleh Muslim dari
Tamim ad Daariy.
Rasulullah SAW bersabda,”Agama adalah nasehat.”.
Para sahabat bertanya,”Bagi siapa wahai Rasulullah?”.
Rasulullah SAW menjawab,”Bagi Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para
pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awam dari mereka.”
Ini adalah ujian bagi rakyat...
“Dunia adalah ladang akhirat. Agama
tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran.
Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan rubuh
dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisipilnan tidak akan
terwujud kecuali dengan penguasa.”
(Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin)
Saatnya kita pukul telak kaum sekuleris yang
berkedok ngajak main aman...
Siapapun
wajib berpartisipasi. Tak perlu ikutan aksi kalau memang tak sanggup. Seperti
saya ini, mahasiswa di Kota Pelajar. Apalagi pada tanggal yang sudah
disebutkan, nanti saya ada kebagian jadwal untuk Ujian Tengah Semester dari
salah satu mata kuliah. Bagi saya, ini nggak kalah pentingnya karena menyangkut
masa depan. Jadi jelas saya nggak bakal ikut aksi untuk kali ini. Apalagi jarak
Jakarta dan Yogyakarta yang cukup jauh. Mungkin lain kali bisa. Namun, bukan
berarti saya diam, saya berusaha berpartisipasi dengan dengan cara selain turun
aksi. Seperti salah satunya dengan tulisan ini. Kita semua pun juga bisa
membuat tulisan-tulisan yang serupa. Sekedar mengingatkan di media sosial
mengenai aksi 4 November, sudah sangat membantu. Sekedar berdo’a pun, terutama
untuk keselamatan saudara-saudara kita yang akan turun ke jalan, sudah cukup
membantu. Semua orang punya perannya masing-masing, boss.
Tanggal
4 November nanti, kelak akan menjadi ujian bagi rakyat. Kita akan melihat
apakah rakyat telah menggenapkan segala kekuatannya untuk berpartisipasi? Atau
masih maukah rakyat ditindas? Masih maukah mereka bersikap tak acuh? Atau bagi
sebagian orang, masih maukah menganggap Islam dengan politik tak punya kaitan
satu sama lain? Hanya Ia Yang Maha Tahu.
Dari Yogyakarta untuk Indonesia, 2016
Komentar
Posting Komentar