Dada yang Dilapangkan, Cinta yang Perlu Dikekalkan



Kawan, masih ingatkah saat kita saling menyusun niat untuk selalu berjuang di jalanNya. Entah mengapa seakan ada yang mengikat jiwa-jiwa kita, tersusun menjadi suatu ukhuwah. Dan tahukah engkau, kawan, bahwa ukhuwah lebih tinggi dari sekedar persahabatan? Ya, karena dalam ukhuwah-lah kita bersama saling mengajar dan membimbing. Maka bila salah satu dari kita salah, yang lain pun turut meluruskan. Hati-hati ini menyatu dalam satu kekuatan yang mendamaikan. Terasa begitu berharga ikatan ini hingga permata termahal pun dirasa takkan membuat ia renggang. Saat itulah Aku merasa, memang ikatan inilah yang diridhai Allah.


“Dan berpeganglah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hatimu, dan dengan nikmat Allah-lah kamu menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali Imran: 103)

Kupikir saat itu...

Hati-hati ini sudah berkumpul karena cinta-Nya, saling berjumpa dalam ketaatan pada-Nya, bersatu dalam dakwah-Nya, berpadu dalam membela syari'at-Nya.


Hingga kita semakin jarang bertemu. Begitu banyak alasan yang memperkeruh ukhuwah ini. Hanya sekedar menyapa, namun begitu sulit hanya untuk bertanya kabar. Bahkan sekedar menjabat tangan pun, terasa berat jari-jari ini. Ingin rasanya kutagih janji masing-masing, ikrar yang bersama dikumandangkan saat kita di awal perjuangan ini. Satu yang kukhawatirkan adalah prasangka darimu bila kemunduranmu kutagih. 

Kuajak kau untuk bersilaturahim dengan saudara kita yang lain, lagi-lagi alasan sibuklah yang keluar. Kuingatkan untuk tilawah, tak kau gubris. Sekedar sholat pun kau tunda. Tak ingin diri ini menggunakan paksaan. Karena pastinya kau akan marah padaku, lalu berprasangka yang tidak-tidak. 

Apa kau masih ingat amanah yang dibebankan padamu? Aku mengerti berat memang rasanya. Aku pun merasakannya. Begitupun saudara-saudara kita yang lain. Akan tetapi, kawan, mengapa kau lalaikan amanah ini? Mengapa engkau cenderung tak peduli atas kondisi umat? Ataukah jati dirimu sudah hilang? Apakah kau berpikir, hanya dirimu yang dibebani?


Ingatkah engkau bahwa Rasulullah yang buta huruf pun menerima amanah yang begitu berat dari Allah melalui Jibril? Ingatkah kepada para shahabat yang tak pernah sekalipun mengendurkan langkah mereka? Kita sama-sama tahu Umar yang mengangkut sekarung makanan untuk satu keluarga miskin, Abu Bakar yang terkena racun kalajengking demi melindungi Rasul, Utsman yang mengorbankan harta benda terbaiknya dalam jihad di jalannya, Ali yang bersedia menjadi ajudan Sang Kekasih di usia muda, Bilal yang tetap berkata "Ahad! Ahad!" di bawah timpaan batu besar dan terik matahari, serta Abu Ubaidah yang kehilangan gigi-gigi depannya demi menyelamatkan nyawa Sang Rasul.

Andai kau mau membuka matamu...

Ah, sepertinya terlalu berat bagimu. Kau benamkan dirimu dalam urusan duniawi. Seperti yang sudah kukatakan, aku tak bisa memaksamu dengan keras. Tapi bukankah setiap dari kita bertanggung jawab atas yang lain? Kau pun tanggung jawabku, begitupun sebaliknya. Bukankah hati-hati ini sejatinya saling bersahut dalam kebenaran? Ya, benar. Tinggal kita bagaimana kita menyinarinya. Aku tak bisa membiarkanmu terbenam.


Kawan, pernahkah kau bertemu dengan saudara kita yang lain?

Ya, aku tahu bahwa urusan duniawi tak bisa dihindari. Namun pernahkah kau lihat ada saudara lain yang sama sibuknya denganmu? Mengertikah engkau bahwa hatinya masih terikat dalam ukhuwah ini?

Perlukah Allah mengganti janji-Nya dengan uang yang banyak? Kalau memang sudah begitu, akan banyak pasti yang menyertainya. Bukankah janji itu telah tertera dalam ayat-ayat-Nya. Sudahkah ayat-ayat suci tersebut terpatri dalam hatimu? Andai kau tahu bahwa selalu ada keikhlasan dan kecintaan yang murni dalam segala pekerjaan. Termasuk perjuangan suci ini.

Ataukah...

Kau menghindar karena diriku? Ada satu hal dalam diriku yang tak kau suka? Adakah perkataan atau perbuatanku yang membuatmu tersinggung? 

Bila memang benar, tak perlu malulah kawan untuk menegurku...



Kusadari, dalam iman yang telah terpahat dengan kuat, maka ada ukhuwah yang terikat kuat. Yang mempersatukan hati-hati ini untuk bersama berjihad di jalan-Nya. Satu hal yang kuyakini, ada suatu kemaksiatan yang kulakukan. Namun tak kusadarai. Itulah yang merobek-robek iman kita.

Kawan, maukah engkau memaafkanku?

Mungkinkan ini baru segelintir rintangan? Bila iya, maka umpamalah ia kemanisan yang tak terhingga.

Aku tahu, yang rombeng bukanlah ukhuwah kita

Hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau menjerit

Mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
Tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping



Kubaca firman persaudaraan itu

Dan aku makin tahu,mengapa di kala lain diancamkan;
Para kekasih pada hari itu, sebagian menjadi musuh sebagian yang lain..
Kecuali orang-orang yang bertaqwa

Kubaca Firman Persaudaraan-Salim A. Fillah



Kawan, biarlah aku yang memulai perbaikan ini. Iman kita bersama-lah yang perlu kita kokohkan. Maka kepada-Nya, aku mengharap agar ikatan ini dikuatkan, cinta ini dikekalkan, ditunjukilah jalan-jalannya, diterangi dengan cahya-Nya yang tiada kan padam, dada-dada ini dilapangkan dengan iman serta indahnya ketakwaan pada-Nya, dihidupkan dengan ma'rifat-Nya, serta agar jiwa-jiwa ini berakhir syahid di jalan-Nya. 

Maka, Kawan. Ketahuilah, bahwa Ia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Yakinlah bahwa kau tak salah jalan. Tak ada ikrarmu yang keliru dibaca. Lalu bersama kita saling menguatkan dan memperbaiki.

Yogyakarta, 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat