Indonesia dalam Pergulatan Toleransi Sosial


Indonesia, satu negara di wilayah Asia Tenggara. Terletak antara dua benua, dua samudra, dan dua hembusan angin dari dua arah yang berbeda. Bukan hal yang baru lagi bila kita ketahui bahwa Indonesia adalah negeri dengan beragam suku, bahasa, budaya, dan agama. Hasil perhitungan terakhir tahun 2015  menunjukkan bahwa populasi penduduk mencapai lebih dari 255 juta jiwa. Dengan begitu berwarnanya keanekaragaman di negara terpadat nomor empat di dunia ini, tak heran bila Indonesia pun memiliki keadaan sosial antar penduduknya yang beragam. Konflik-konflik sosial pun selalu muncul dan selalu berbeda bergantung silih bergantinya zaman. Mengingat begitu beragamnya masyarakat Indonesia, masalah perbedaan cara bicara dan mengambil sikap pun bisa menyebabkan timbulnya konflik.


Bisa kita lihat bagaimana hubungan antar masyarakat dalam satu golongan dengan masyarakat golongan lain, cenderung masih memasang tembok atau jurang pembatas diantara mereka. Bahkan disertai dengan sikap-sikap intoleran muncul dari satu golongan kepada golongan lain. Bisa kita cek melalui media-media cetak maupun digital. Peristiwa-peristiwa serupa di beberapa daerah yang seharusnya menjadi sorotan media. Antara satu suku dengan suku lain, maupun satu agama dengan agama lain.

Posisi suatu kelompok sosial yang tidak selaras, identitas yang terancam, ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda, disebut dapat dicapai permasalahannya dengan apa yang mereka sebut toleransi. Namun, banyak dari kita yang cenderung masih salah dalam memaknai apa itu toleransi. Banyak orang yang salah paham menganggap bahwa toleransi sama dengan integrasi. Mungkin ada benarnya untuk beberapa hal.

Emile Durkheim dalam bukunya, “Suicide” (1897), menegaskan bahwa integrasi dalam kelompok-kelompok yang secara abnormal tinggi maupun rendah, bisa menyebabkan bertambahnya tingkat bunuh diri. Kata ‘bunuh diri’ disini bisa kita maknai sebagai konflik. Rendahnya intergrasi bisa menyebabkan konflik dari masyarakat yang kurang terorganisir, terutama dalam hal memahami kelompok lainnya. Sementara tingginya intergrasi, bisa diibaratkan pada dua orang yang masuk ke dalam satu bilik toilet secara bersamaan.

Hal-hal seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim sendiri bisa kita lihat nyata pada masyarakat Indonesia abad modern 21 ini. Pergulatan sosial setiap golongan masyarakat seakan telah menjadi sarapan sehari-hari. Di beberapa daerah, ada saja konflik yang muncul antar kelompok-kelompok sosial yang ada. Entah terjadi karena egoisme atau chauvinisme, namun yang pasti kurangnya komunikasi dan pengertian bisa menjadi suatu hal yang patut diperhatikan. Uniknya di beberapa wilayah lain, ada saja integrasi atau toleransi yang terlalu berlebihan. Padahal belum tentu masuknya satu budaya dari satu kelompok sosial ke kelompok lainnya bisa berarti baik. Bahkan bisa menjadi sangat buruk. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya menjadi konsentrasi perhatian kita hingga masa depan nanti. Kesalahpahaman pun kerap terjadi dan konflik tetap saja tersulut untuk semakin membara.




Mereka bilang, toleransi adalah kata kuncinya. Akan tetapi, sejauh manakah kita menyadari makna dari toleransi sendiri? Bagaimanakah toleransi dalam Islam sendiri? Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita mengenal satu surah pendek dalam Juz ke-30 bernama “al-Kafirun”. Ayat terakhir dalam surah tersebut berbunyi “lakum diinukum waliyadiin” yang berarti, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Dapat kita temui maksudnya bahwa toleransi bukan berarti kita seharusnya mengintegrasikan kedua unsur secara berlebihan. Karena dalam suatu kelompok sosial, pastilah ada satu unsur (pantangan dalam agama, etika, dst) berbeda dan cenderung berlawanan dengan kelompok sosial lainnya. Cukuplah seseorang menjalankan tuntutan ibadah agamanya tanpa adanya ganggu gugat, itulah yang dimaksud dengan masyarakat sosial yang toleran. Meskipun ayat terakhir al-Kafirun menggunakan kata ‘diin’ atau ‘agama’, bukan berarti tidak bisa kita aplikasikan pada kehidupan sosial dalam keanekaragaman masyarakat yang ada. Contohlah bila kita tinggal di Bandung, sementara kita memiliki tetangga dari Yogyakarta, ada baiknya kita saling memaklumi bila ada perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari logat bicara hingga etika dalam bertamu.

Indonesia, negara dimana mungkin ada konflik yang terjadi. Bukan konflik yang memakan korban jiwa dalam jumlah banyak, namun konflik yang cenderung nyaris tak terlihat. Dengan beragamnya suku, agama, dan bahasa serta jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, tak heran bila konflik sosial dalam masyarakat kerap sering terjadi. Mungkin sulit atau bahkan nyaris mustahil memang bagi kita untuk menghapus konflik-konflik tersebut hingga ke akarnya. Namun kita masih bisa meminimalisir hal tersebut untuk terjadi. Bisa kita wujudkan dengan adanya komunikasi yang baik dalam masyarakat serta rasa pengertian yang kerap harus terus ditumbuhkan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat