Nefes (2009): Berapakah Harga Nyawa Tiap Satu Prajurit (Tulisan Lama)

Jarang-jarang banget saya bikin artikel review film. Terakhir sekitar setengah tahun lalu ketika saya buat artikel film The Physician (2013) yang menceritakan kisah seorang pemuda Inggris yang menyamar jadi seorang Yahudi agar bisa diterima sebagai murid Ibnu Sina. Kali ini, saya memuat postingan mengenai film asal Turki berjudul Nefes (2009). Hampir tidak ada film Turki yang masuk ke ranah bioskop Indonesia. Apalagi pada 2012 lalu, dimana Fetih 1453 yang telah lama ditunggu kehadirannya oleh umat muslim Tanah Air, malah tak muncul posternya di dinding-dinding Blitzmegaplex maupun Cinema 21. Alhasil, kita menontonnya melalui link-link unduhan yang ditawarkan situs-situs penyedia film bajakan macam Ganool dan Cinemaindo.

 
Yup, kata ‘nefes’ dalam bahasa Turki berarti nafas. Hampir mirip ya dengan kata ‘nafas’? Hehe... kesamaan bahasa Indonesia dan Turki adalah adanya serapan dari bahasa Arab. Perlu kita ketahui bahwa kata ‘nafas’ dan ‘nefes’ diambil dari kata ‘nafs’ dalam bahasa Arab yang berarti jiwa. Jiwa dan nafas sepertinya adalah dua hal yang berkaitan sangat erat. Jadi, kata ‘nefes’ yang menjadi judul film ini juga bisa diartikan sebagai jiwa. Kalau belum menontonnya, bingung memang kok film bergenre perang diberi judul yang bermakna nafas atau jiwa. Tapi setelah menontonnya, mungkin anda akan mengerti.
Oh ya, saya lupa (atau sengaja) menambahkan bahwa film ini bergenre drama-perang. Tepatnya mengambil isu konflik Turki-Kurdi yang masih berlanjut hingga sekarang. Film arahan sutradara Levent Semerci ini mengambil setting di Pegunungan Karabal tahun 90-an. Berkisah tentang satu unit kecil tentara nasional Turki berjumlah 40 orang. Para prajurit ini dipimpin oleh Kapten Mete Yuzbashi (Mete Horozoglu) yang ditugaskan melindungi wilayah Pegunungan Karabal dari teror militan PKK (Partiya Karkeren Kurdistani / Partai Buruh Kurdistan). Kapten Mete sendiri mengalami konflik batin setelah kehilangan temannya yang tewas ditembak sniper Kurdi. Apalagi, dia juga sering menerima telepon dari seorang komandan PKK yang menggunakan nama kode “The Doctor”, yang berkali-kali mengancam akan menghabisi pos tentara Turki di Karabal. Film ini diadaptasi dari tulisan pendek karya Hakan Evrensel berjudul, “Tales from The Southeast” dan “Ground Zero”. 
Bila anda pernah menonton film-film perang sok dramatis macam film-filmnya Om Rambo atau film-film Perang Vietnam-nya Mas Norris (yang saya lupa judulnya), mohon jangan sandingkan dengan film ini. Bila dalam Rambo kita akan banyak melihat adegan-adegan stunt yang memukau mata, namun dalam film asal negaranya Bang Erdogan ini, kita tak akan menemukannya. Tidak ada adegan-adegan action sok keren, jagoan yang one man show, maupun adegan-adegan romantis –dan maaf, yang vulgar dengan adegan ‘ranjang’-nya- sebagai pemanis cerita, anda tak akan menemukannya di film ini.

Film ini justru berfokus pada kenyataan bahwa para prajurit tersebut, meski diembani tugas penting dan dipersenjatai, mereka tetaplah manusia biasa. Seperti kita, mereka juga ada rasa kangen saat menerima kenyataan bahwa mereka harus berada jauh dari orang-orang yang mereka cintai. Seperti kita, mereka juga butuh hiburan. Pada akhir film, kita akan disuguhi adegan flashback saat sekelompok prajurit bernyanyi bersama, menyanyikan lagu-lagu romansa penyejuk hati. Sifat dan kepribadian mereka pun macam-macam. Ada prajurit bertubuh gendut yang senang buat puisi, ada prajurit bertubuh kurus yang senang menghibur teman-temannya dengan humor receh, ada prajurit ceroboh dimana dia tak sengaja melempar granat ke toilet, ada prajurit yang sangat menyayangi ibunya, dan adapun prajurit yang tak bisa melupakan kenangan bersama kekasihnya yang berada jauh dari Karabal. Adapula dua prajurit yang beda sendiri, bila teman-temannya orang Turki asli, prajurit ini berdarah Kurdi dan yang satunya lagi berasal dari keluarga Arab.  
Saat terjadi serangan mendadak di malam hari, tidak serta merta semua prajurit memegang senjata dan tembak sana, tembak sini seperti di film-film Hollywood. Ada satu prajurit terkulai lemas karena kehilangan tangan kanannya. Malah ada satu prajurit yang bukannya membantu teman-temannya, ia berkeliling seperti orang kebingungan (entah mengigau atau memang stress), memegang senter yang menyala serta memanggil-manggil ibunya. Seperti yang sudah saya bilang, tidak ada adegan sok keren yang jadi formula film-film dari negeri Paman Obama. Tapi entah mengapa, film ini juga bisa membuat nafas anda tercekat serta membuat anda tegang. Ada rasa haru, lucu kemudian berganti tegang.

Mungkin film ini berusaha menyampaikan kepada kita bahwa inilah perang sebenarnya, seperti ini lho, bukan seperti yang ditunjukan oleh Rambo, yang dengan mudahnya menghabisi para gerilyawan Vietkong. Para prajurit, adakalanya mereka sedih, bahagia, kangen, bosan, takut seperti kita. Mereka juga manusia. Mungkin ini jugalah yang sutradara berniat tunjukkan. Berapakah kira-kira harga nyawa tiap satu prajurit hingga mereka diposisikan sebuah tugas untuk melindungi suatu negara? Lalu ketika mereka berhenti dari tugas mereka, dipensiunkan atau tewas dalam medan perang, kita melupakannya begitu saja. Bahkan ironis, saat generasi muda belakangan kurang menghargai jasa para prajurit, guru, dokter, petani bahkan sampai tukang cukur. Gaji, penghargaan dan tanda jasa tidak akan pernah cukup untuk membayar nyawa mereka.  
Sebagai tambahan, Nefes adalah film pertama yang saya temui, dimana satu keseluruhan filmnya lebih bagus daripada cuplikannya. Ga percaya kan? Coba saja nonton trailernya di YouTube kemudian tonton filmnya secara full. Ada begitu banyak kejutan lebih dari yang kita kira. Tak heran, film ini dapat rating 8.1/10 di IMDb. Oh ya, bila anda ingin menonton filmnya, mungkin sulit untuk mencari link download-nya. Jadi ikuti saja saran saya –kalau mau- dengan mengunduhnya film full-nya di YouTube (sekitar 2,5 jam bila 360p, itupun tergantung koneksinya), kemudian unduh subtitle-nya.

Bagi saya, film ini recommended banget. Apalagi buat anda yang pencinta film-film perang. Bolehlah film ini ditaruh dalam daftar film-film favorit.



Ini adalah tulisan lama dari blog saya sebelumnya, birunyasamudra.blogspot.com
Mohon maaf bila saya sudah lama sekali saya tidak membuat tulisan baru karena entah kesibukan yg makin bertambah atau memang saya yg lalai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat