Mengais Ilmu dalam Lingkaran Ukhuwah

Dari sejak saya duduk di bangku SMA kelas satu, saya sudah sering mengikuti semacam kegiatan yang dilaksanakan seminggu sekali, berkumpul di satu tempat, kadang di masjid, , duduk melingkar, kadang hanya sekitar 6-7 orang saja, dimulai dengan tilawah al-Qur’an, lalu bersama-sama mendengarkan materi-materi keislaman dan mendiskusikannya. Sampai sekarang saya masih sering mengikuti kegiatan tersebut, meskipun berbeda lokasi tempat saya menempuh pendidikan sekolah menengah (Bekasi) dan kuliah (Yogyakarta) serta pembimbingnya. Masyarakat awam mungkin akan menyebutnya pengajian, namun ada istilah khusus untuk kegiatan ini. Kita sering menyebutnya halaqoh atau liqo’.


Kata liqo’ dalam bahasa Arab berarti pertemuan. Sebutan lainnya, halaqoh berarti lingkaran. Ini memang berkesinambungan bagaimana kegiatan liqo’ kadang terdiri dari beberapa peserta dan satu pembimbing yang duduk melingkar sambi lesehan (duduk langsung di lantai/tanah). Adapun istilah mentoring, yaitu semacam liqo’ yang diadakan oleh Rohis (Rohani Islam) di sekolah-sekolah menengah. Di saat masa-masa masih mengenakan celana abu-abu sendiri, saya dan teman-teman meyebutnya mentoring. Istilah liqo’ baru saya pakai saat memasuki jenjang perkuliahan dan –atas izin Allah- dipertemukan oleh ikhwan-ikhwan di Kota Pelajar.

Kadang mahasiswa yang awam dengan liqo’ atau halaqoh sudah pernah melihat sekelompok orang duduk melingkar di selasar masjid, tilawah, mendengarkan materi, lalu berdiskusi dengan sesekali bercengkerama. Orang awam kebanyakan mengira bahwa kegiatan seperti ini baru dimulai saat munculnya gerakan-gerakan keislaman di kalangan mahasiswa sekitar penghujung dekade 90-an. Sebenarnya, kegiatan liqo’ ini bisa dibilang sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad Saw menyebarkan dakwahnya di Mekkah.

Pada saat itu, Rasulullah Saw dan para sahabatnya rutin mengadakan pertemuan di rumah al-Arqam bin al-Arqam. Beliau mengumpulkan para sahabatnya dengan tujuan untuk menguatkan ruhani satu sama lain. Dengan ini, maka terciptalah fondasi yang kuat dalam membangun masyarakat yang islami.  Keuntungan lainnya dalam liqo sendiri adalah semakin kayanya ilmu yang kita dapat juga semakin kuatnya jalinan ukhuwah atau persaudaraan antar sesama ikhwan. Tak heran bila halaqoh sendiri tak hanya diadakan di masjid-masjid saja, tapi juga kadang di rumah salah satu peserta demi menjalin dan memperkuat tali silaturahim.

Lalu bagaimanakah pandangan pendidikan terhadap kegiatan liqo’ atau halaqoh ini? Dalam pendidikan sendiri, ada beberapa pendekatan. Salah satunya adalah pendekatan religi. Dalam pendekatan religi, seorang peserta didik diutamakan untuk ditekankan pada aqidah dan akhlaqnya. Pendekatan seperti ini muncul dari pandangan bahwa sains atau ilmu pengetahuan hakikatnya mengandung nilai-nilai ketuhanan. Sejatinya, ilmu pengetahuan memang berasal dari Tuhan. Lalu, bagaimanakah pentingnya akhlaq bagi seorang pribadi dalam kehidupannya?

Rasulullah Saw pernah berdabda: “Orang yang sempurna imannya ialah orang yang baik akhlaqnya.”
Akhlaq bukan hanya sekedar lambang kesempurnaan iman, ketinggian taqwa, maupun kealiman seseorang yang berakal. Akhlaq juga adalah salah satu senyawa formula untuk memperkokoh fondasi umat. Kita lihat bagaimana dulu Rasulullah Saw dan para sahabatnya dulu sukses dalam membangun Islam, dimulai dari akhlaq mereka yang dibina dengan baik. Hingga akhirnya Islam memasuki masa-masa jayanya beberapa abad kemudian. Dimulai dari satu individu yang diperkaya dengan akhlaq, maka terwujudnya masyarakat madani yang berpengetahuan, bukan lagi sekedar mimpi. Begitupun sebaliknya. Rusak moral dan akhlaq individu hingga dirinya bagai jasad tak berjiwa, maka rusaklah umat.

Menalari ilmu pengetahuan pun harus dibarengi dengan kekayaan moral dan akhlaq.

Selanjutnya, ada pendekatan psikologis dan sosio-kulural. Keduanya cukup berkesinambungan. Pendekatan psikologis menekankan dorongan-dorongan persuasif dan motivatif. Sementara sosio-kultural adalah penekanan pada usaha pengembangan sikap. Dalam liqo’, hubungan kedekatan antara murobbi (pembimbing) dengan mutarobbi (didikan) berbeda dengan hubungan seorang guru dan murid di kelas-kelas biasa. Murobbi tak hanya tampil sebagai sosok seorang guru, tapi juga sosok seorang saudara. Dengan peserta didiknya, ia memberikan dorongan khusus agar mutarobbinya berani untuk mengambil sikap serta memotivasinya. Bukan hanya sekedar murobbi, tapi juga sesama mutarobbi pun juga bisa memberi dorongan pada mutarobbi lainnya. Posisi duduk berupa lingkaran merupakan perlambang bahwa dalam lingkaran tersebut semuanya saling melengkapi dan memberi dorongan –simbol suatu ukhuwah. Saling belajar dan mengajari. Hal seperti ini pun takkan diitemui pada kelas-kelas biasa.

Barulah kemudian ada pendekatan historis dan juga pendekatan komparatif. Pendekatan historis adalah pengembangan ilmu pengetahuan, sikap dan nilai keagamaan melalui proses kejarahan. Semantara pendekatan komparatif sendiri adalah pendekatan yang dilakukan membandingkan suatu gejala sosial keagamaan dengan hukum agama yang ditetapkan selaras dengan situasi dan zamannya. Tak heran, bila kita bergabung dalam liqo’, tema materinya berbeda dengan beberapa mata pelajaran di sekolah-sekolah. Bahkan cenderung tak ditemui. Dalam lingkaran halaqoh, murobbi dan mutarobbi saling memantik dan berdiskusi terhadap gejala-gejala di kalangan masyarakat, isu-isu yang sedang terjadi, lalu membandingkannya dengan peristiwa-peristiwa yang sudah pernah terjadi. Kemudian bersama melihat pandangannya dalam Islam (baca: al-Qur’an dan Hadits)
.

Dalam liqo’ bukan hanya sekedar ilmu, tapi juga akhlaq yang dikembangkan demi memperkaya struktur komponen suatu manusia. Suatu pembinaan kepribadian dan upaya memperkaya pengetahuan melalui sebuah lingkaran yang bernama “halaqoh” yang diperkuat oleh perekat bernama “ukhuwah”.

“Tidak ada nikmat kebaikan yang Allah berikan setelah Islam, selain saudara yang shalih. Maka, jika salah seorang kalian merasakan kecintaan dari saudaranya, peganglah kuat-kuat persaudaraan dengannya.” 
(Umar bin Khattab ra.)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilal (2015): Betulkah Menyebarkan Paham Liberalisme?

Indonesia Palsu a la Orang Luar

Umat Muhammad dalam Gulungan Film Barat